Jumat, 04 November 2011

PERUBAHAN MAKNA NOMINA BAHASA ARAB
DALAM ALQUR’AN
(ANALISIS SOSIOSEMANTIK)






Oleh:
MUHANDIS AZZUHRI, Lc, M.A (Ketua)


ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang “Perubahan Makna Nomina Bahasa Arab dalam Al-Qur’an (Analisis Sosio-Semantik)”. Kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiosemantik, yaitu kajian yang merupakan perpaduan antara sosiologi dan semantik. Penelitian ini membahas tentang bentuk-bentuk nomina bahasa Arab yang mengalami perubahan makna dalam Alquran, proses terjadinya perubahan makna nomina bahasa Arab dalam Alquran, dan implikasi sosial terhadap perubahan makna nomina bahasa Arab dalam Alquran.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Untuk analisis data dengan metode padan dengan teknik padan translasional yang alat penentunya berupa padanan pada bahasa atau langue lain. Dalam analisis bentuk serapan, digunakan cara membandingkan bentuk asal dengan bentuk serapan.
Dalam penelitian ini ditemukan bentuk-bentuk nomina bahasa Arab yang mengalami perubahan makna dalam Alquran, yaitu semua kata benda dalam bahasa Arab seperti isim makrifah, nakirah, isim mudzakar, muanats, isim masdar, isim mufrad, mutsanna, jamak. Proses terjadinya perubahan makna disebabkan karena beberapa faktor seperti (a). Faktor bahasa yang mencakup (1) aspek fonetik, seperti kata سريعة bisa berubah maknanya karena perbedaan fonem dalam pengucapan dengan شريعة yang artinya “syariat atau undang-undang”, (2) aspek morfologis, contohnya kata قَتَلَdalam Qs An-Nisa’: 92 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأ artinya “membunuh” tetapi jika dibaca قَاتَلَ maka artinya menjadi “saling membunuh", dan (3) aspek sintaksis;seperti pembacaan أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ (التوبة: 3) (Bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin) akan berbeda kalau dibaca أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلِهُ (التوبة: 3) (Bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan RasulNya), (b). Faktor kesejarahan, seperti الكتاب yang bermakna semua kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt dari kitab Zabur, Taurat, Injil dan Alquran, sekarang semua buku bacaan apa saja bermakna kitab; (c). Faktor sosial budaya, seperti kata “Kafir” asal katanya mempunyai makna ‘petani yang menutupi biji-bijian dan menimbunnya dengan tanah’, sekarang bermakna orang yang menentang perintah Allah dan RasulNya; (d). Faktor psikologi, seperti ungkapan marah dengan غضب (Ghadhab) atau غيظ, kalau غضب adalah perasaan marah dari orang yang lebih kecil strata sosialnya kepada orang yang lebih besar adapun غيظ merupakan perasaan marah dari orang yang lebih besar status sosialnya kepada orang yang lebih kecil; (e). Faktor ilmu dan teknologi, seperti kata سيّارة yang tadinya bermakna kafilah unta sekarang bermakna mobil karena perkembangan Iptek; (f). Pengaruh bahasa asing, seperti kata صراط المستقيم (Shiratal mustakim) dalam Qs Al-Fatihah, kata shirat berasal dari bahasa Latin yaitu ‘strata’ yang kemudian menjadi asal kata bahasa Inggris street; dan (g). Faktor perbedaan pemakaian bahasa, seperti kata تحرير yang dalam bahasa jurnalistik bermakna “redaksi” dan dalam Alquran فتحرير رقبة bermakna ‘membebaskan budak’.
Proses perubahan makna terjadi karena perluasan/generalisasi makna, seperti أمّة yang bermakna "sekelompok orang dalam suatu komunitas” mengalami perluasan makna karena bisa diartikan sebagai “binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang”, penyempitan makna, seperti kata ulama yang berarti semua orang yang ahli dalam semua bidang ilmu sekarang kata tersebu hanya ditujukan kepada ‘seseorang yang pintar dalam ilmu agama’, perubahan makna total, seperti kata Gapura yang bermakna pintu gerbang tetapi itu sebenarnya berasal dari kata غفور yang artinya ‘Maha Pengampun’ dan Ameliorasi, seperti kata مرأة (istri/perempuan) yang tadinya statusnya lebih tinggi dibandingkan زوجة (bini) tetapi dalam bahasa Alquran kata مرأة identik kepada istri yang berperilaku buruk.
Perubahan makna dalam nomina bahasa Arab Alquran berdampak positif terhadap pola pikir dan pemahaman masyarakat akan kajian Alquran secara komprehensif dan integralistik sehingga satu kata tidak hanya dipahami dengan monomakna, tetapi multimakna. Pemahaman akan semantik Alquran akan membentuk pola pikir dan tindakan yang mengarah kepada nuansa akademis yang tidak doktriner, perasaan merasa paling benar dan ingin menyalahkan yang lain, tetapi atmosfir akademis yang selalu bersikap dewasa dalam memahami semua alur perbedaan teologis.

Kata Kunci: perubahan makna, nomina, sosio-semantik, Alquran

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin begitulah kalimat yang pantas untuk diuntaikan sebagai bentuk rasa syukur yang sangat mendalam atas selesainya penelitian kami yang berjudul “Perubahan Makna Nomina Bahasa Arab dalam Alquran (Analisis Sosio – Semantik)”. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Agung Muhammad Saw yang kita selalu berharap syafaatnya nanti di hari kebangkitan, allahumma Amin.
Penelitian ini dilaksanakan secara kolektif oleh kami bertiga yaitu Muhandis Azzuhri, Isriani Hardini dan Misbakhuddin. Penelitian ini difokuskan pada kajian semantik dalam bahasa Alquran dengan melakukan penyelidikan makna sehingga sebuah ayat tidak dipahami berdasarkan makna leksikalnya saja tetapi perlu melihat faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah kata sehingga mempunyai makna yang berbeda dari makna aslinya.
Harapan kami, semoga penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya “urun rembug” akademis dalam ranah linguistik maupun ilmu tafsir Alquran karena memang fokus kajiaannya adalah bahasa Arab Alquran.
Segala kritikan dan masukan sungguh sangat kami harapkan untuk memaksimalkan penelitian ini ke arah yang lebih baik. Semoga Allah Swt selalu menyertai semua derap langkah kita kemanapun dan dimanapun sebagai khadim al ilmi. Amin, Amin.
Pekalongan, 20 Oktober 2011
Hormat kami
Ketua Tim Peneliti



Muhandis Azzuhri, Lc, M.A.
NIP. 197801052003121002



DAFTAR ISI
Halaman Judul ..............................................................................................................i
Abstrak..........................................................................................................................ii
Lembar Pengesahan......................................................................................................iv.
Kata Pengantar..............................................................................................................v
Daftar Isi.......................................................................................................................vi
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 6
1.3 Pembatasan Masalah........................................................................6
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................7
1.5 Kajian Pustaka............................................................................... ..7
1.6 Kerangka Teori.................................................................................9
1.7 Metodologi Penelitian.....................................................................11
1.7.1 Metode Penelitian .............................................11
1.7.2 Sumber Data .....................................................12
1.7.3 Metode Analisis Data........................................12
Bab II Nomina Bahasa Arab Dalam Kajian Sosiosemantik
2.1 Pembagian Kata dalam Bahasa Arab...............................................13
2.2 Macam-macam Nomina Bahasa Arab ............................................13
Bab III Semantik Alquran dan Perubahan Makna
3.1 Semantik Alquran............................................................................17
3.2 Perubahan Makna dalam Nomina Bahasa ......................................19
Bab IV Analisis Perubahan Makna Nomina Bahasa Arab dalam Alquran
4.1 Faktor-faktor Penyebab Perubahan Makna
4.1.1 Faktor Bahasa .................................................................. 22
4.1.2 Faktor Sejarah...................................................................26
4.1.3 Faktor Ilmu dan Teknologi ..............................................29
4.1.4 Faktor Sosial Budaya ...................................................... 32
4.1.5 Faktor Psikologis .............................................................37
4.1.6 Pengaruh Bahasa Asing ...................................................38
4.1.7 Faktor Perbedaan Bidang Pemakaian...............................40
4.2 Bentuk-bentuk Perubahan Makna dalam Alquran ..........................41
4.2.1 Perluasan Makna ..............................................................42
4.2.2 Penyempitan Makna..........................................................57
4.2.3 Perubahan Makna Total....................................................58
4.2.4 Ameliorasi.........................................................................59
4.3 Implikasi Perubahan Makna Nomina Alquran pada Ranah
Sosial Keagamaan.........................................................................60

Bab V Penutup
5.1 Kesimpulan................................................................................ .....62
5.2 Saran-saran.......................................................................................64
Daftar pustaka ...............................................................................................................65
Lampiran
Biodata Peneliti


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Alquran merupakan firman Allah Swt. yang di dalamnya terdapat petunjuk dan hidayah bagi umat manusia. Kitab ini menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Selain karena nabi yang membawa kitab ini dengan bahasa Arab, bahasa Arab juga diakui mempunyai tingkat balaghah yang tinggi, sensitivitas dalam hermeneutiknya, mempunyai ragam gaya bahasa, dan mempunyai kosa kata yang sangat kaya.
Alquran mempunyai kemukjizatan yang sangat tinggi, baik dalam tataran isi maupun bahasa yang digunakannya. Ketinggian bahasa Alquran dapat dilihat pada aspek pemilihan fonem, pemilihan kata, pilihan kalimat dan efek yang ditimbulkannya. Setiap huruf, kata dan kalimat dalam bahasa Alquran mengalami penafsiran semantis yang berbeda-beda oleh para linguis dan penafsir disebabkan karena perbedaan kultur bahasa, latar belakang keilmuan penafsir atau karena pengaruh adanya pengaruh teknologi, sains, dan konteks sosial budaya.
Bahasa Arab diakui sebagai bahasa yang tidak banyak berubah dari bahasa rumpunnya yaitu bahasa Semit. Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa rumpun Semit beserta bahasa Ibrani yang masih hidup dan banyak digunakan umat manusia di dunia lebih dari 250 juta penutur asli di 20 negara-negara Arab dan beberapa negara non Arab lainnya. Seperti halnya bahasa-bahasa dunia lain, bahasa Arab mampu menyerap gerak kemajuan ilmu pengetahuan, sosial budaya, dan teknologi yang kemudian diterjemahkan ke dalam terminologi-terminologi yang tepat. Bahasa Arab juga sebagai bahasa ilmiah modern di bidang sains, teknologi, seni, sosial dan budaya. Ketika Barat mengalami the dark ages bahasa Arab tampil sebagai bahasa ilmiah dan bahasa komunikasi internasional di masa the golden ages of Islam pada rentang waktu 650 M sampai 1250 M.
Di samping sebagai bahasa Tuhan atau bahasa Alquran, bahasa Arab juga sebagai alat komunikasi manusia yang menuntut terjadinya perubahan terus menerus, selalu dinamis karena keadaan manusia dan situasi-kondisi tatkala terjadi interaksi dan komunikasi tidak mungkin berada dalam satu keadaan. Pergerakan dan perbedaan itu menyebabkan bahasa yang dipakainya pun ikut mengalami perubahan.
Kedinamisan bahasa Arab itu terjadi karena bahasa Arab merupakan hasil kebudayaan manusia. Manusia adalah makhluk dinamis dan kreatif yang cenderung kepada perubahan dan tidak statis. Oleh karena itu, bahasa Arab mengalami perkembangan secara terus menerus sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan manusia sebagai pemakai bahasa.
Arus globalisasi yang mendesak budaya lokal, memaksa bahasa Arab menyesuaikan diri dengan memperkaya kosa katanya untuk menampung ide-ide baru dari luar yang terkadang- meminjam istilah Arkoun- l'impense' (tak terpikirkan) oleh bahasa dan budaya Arab. Proses modernisasi bahasa Arab selama ini dilakukan dengan metode semantis dengan melihat sisi makna dan metode morfologis yang lebih menekankan pada masalah bentuk kata. Seperti bahasa-bahasa yang lain, bahasa Arab pun harus menyesuaikan terjadinya perubahan makna yang menurut Ullman disebabkan karena beberapa faktor, yaitu faktor kebahasaan (linguistik causes), faktor kesejarahan (historical causes), faktor sosial (social causes), faktor psikologis (psychological causes), pengaruh bahasa asing dan kebutuhan akan kata baru.
Oleh karena tuntutan beberapa faktor tersebut, bahasa Arab pun mengalami perubahan makna. Terjadinya perubahan makna dalam bahasa Arab disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kebutuhan, perkembangan sosial dan budaya, perasaan emotif dan jiwa, penyimpangan bahasa, perubahan makna dari kata hakiki ke makna majazi, dan adanya inovasi atau kreatifitas. Menurut Chaer, kemungkinan terjadinya perubahan makna disebabkan oleh, (1) perkembangan Iptek, (2) perkembangan sosial budaya, (3) perkembangan pemakaian kata, (4) perkembangan tanggapan indera, dan (5) adanya asosiasi.
Lebih ringkasnya perubahan makna menurut Chaer sebenarnya hanya tiga yang asasi, yakni meluas, menyempit, dan perubahan total. Suatu kata dikatakan meluas maknanya apabila makna yang baru lebih luas daripada makna terdahulu, termasuk juga asosiasi. Perubahan menyempit merupakan perubahan makna yang lebih khusus, terperinci, dan kecil daripada makna sebelumnya. Apabila perubahan-perubahan itu tidak menyisakan makna walaupun terdapat mata rantai makna, dikatakan sebagai perubahan makna total.
Beberapa perubahan makna nomina bahasa Arab dalam Alquran diantaranya akibat pengaruh sosial dan budaya, diantaranya adalah:
Nomina (kata benda) bahasa Arab, yaitu jihad. Di dalam Alquran terdapat 41 kata "jihad" yang berasal dari kata dasar "jahada". Kata ini terdiri atas 4 kata "jihad" (berjuang), 15 kata perintah "jaahaduu" (berjuanglah kamu sekalian), 6 kata "jahda" (bersungguh-sungguh), 4 kata "tujahidu atau yujahidu" (berjuang), dan sebagian lainnya digunakan dalam makna kata yang tidak bersentuhan dengan kata "jihad".
Pemaknaan kata "jihad" ini semakin berkembang pada beberapa kata yang menyertai dan bersambung dalam suatu rangkaian makna. Dan kesan yang terjadi dalam semantik adalah kata-kata yang mempunyai kecenderungan makna idlofi (relational meaning). Dalam Alquran, kata "jihad" mempunyai variasi makna yang tergantung terhadap kata apa yang akan mendampingi. Dari 41 kata "jihad" yang ada dalam Aquran, sebagian besar memberikan makna "berjuang", makna 'berjuang' ini akan selalu bersama dengan "fi sabilillah" (di jalan Allah). Sambungan kata ini di dalam Alquran terdiri atas 15 kata "fi sabilillah" yang terletak sebelum maupun sesudahnya, dan selanjutnya akan diteruskan dengan kata "bi amwali" (dengan harta) dan "anfus" (raga) yang terdiri atas 10 kata sambungan dengan jihad". Sebagaian besar kata "jihad" yang lain -diambil dari kata dasar "jahada"- tidak berarti "berjuang" jika tidak didampingi denga "fi sabilillah". Sebagaimana kata "jahda" (bersungguh-sungguh) yang selalu bersambung sebelum dan sesudahnya dengan kata "aqsam" dan "aimaan" (sumpah). Kata "jihad" pada kalimat perintah lebih banyak menggunakan kata "Jaahaduu" (berjuanglah kalian semua) yang sebagian besar bersambung dengan "fi sabilillah" (di jalan Allah) dan "bi amwalikum wa anfusikum" (dengan harta benda dan raga kamu). Sementara kata asli "jihad" yang diambil dari kata dasar "jaahada" yang bermakna "li al-musyarakah" (saling melakukan suatu pekerjaan) hanya ada 4 kata dalam Alquran dan ada satu kata yang tidak bersambung dengan "fi sabilillah", tetapi kesemuanya -kata asli "jihad"- tidak langsung bersambung dengan "amwal" atau "anfus" .
Dan ini menunjukkan adanya keterkaitan makna yang sangat general untuk dapat memberikan pemahaman dari sekian relasi makna nilai-nilai Islam. Karena dalam kemungkinan tertentu "sabilillah" dalam relasi maknanya dapat diartikan dengan "al-'adalah (keadilan), al-musawah (kesetaraan), at-tahririyyah (pembebasan), al-muhasabah (koreksi), al-muhasanah (berbuat baik), al-murohamah (kasih sayang) bahkan ad-demoqrathiyyah (demokrasi)". Sehingga kemungkinan yang sangat ideal dalam memahami "sabilillah" adalah memahami interpretasi lain yang tidak jauh dari teks al-Qur'an itu sendiri. Sebenarnya, reaksi yang sering menjadi kontroversi dari sekian ragam permahaman "jihad", adalah berangkat dari realitas yang dipaksakan dengan teks.
Contoh lain nomina isti’mar secara etimologi diartikan sebagai menjadikan manusia sebagai orang yang dapat memerintah. Kata isti’mar dalam bahasa Arab modern diartikan sebagai penjajahan; isti’mara adalah menjajah. Makna penjajahan ini tidak dikenal dalam bahasa Alquran dan memang ia merupakan penamaan yang tidak sejalan dengan kaidah bahasa Arab dan akar katanya. Sebab dalam QS Hud: 61 (وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا), isti’mara berarti memakmurkan dunia . Walaupun dalam Alquran kata استعمار merupakan bentukan dari kata kerja mudhari yang sudah mendapat tambahan 3 huruf yaitu ا,س dan ت berasal dari kata dasar عَمَرَ yang mempunyai arti "memakmurkan" yang sangat kontradiktif dengan kata استعمار.
Kemudian kata خاتم mempunyai arti ganda yaitu "cincin" dan "akhir", seperti firman Allahمَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (الاحزاب:40)
Sebagian komunitas muslim terutama jamaah Ahmadiyah mengartikan خاتم dengan cincin, sehingga bisa diartikan "Muhammad adalah cincin para nabi", seperti halnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang bercerita tentang bibinya sahabat Saib bin Yazid yang melihat cincin kenabian ada pada pergelangan tangan Rasulullah Saw فَنَظَرْتُ إِلَى خَاتَمِ النُّبُوَّةِ بَيْنَ كَتِفَيْهِ. Sedangkan komunitas Islam Sunni mengartikan خاتم dengan akhir para nabi.
Masih banyak beberapa ayat kata nomina bahasa Arab Alquran yang mengalami perubahan makna dari makna leksikalnya akibat dipengaruhi oleh ekstra-lingual yang melingkupinya. Ekstra-lingual yang melingkupinya diantaranya menyesuaikan konteks sosial budaya berdasarkan kearifan lokal, perkembangan teknologi, kreativitas, dan inovasi linguis serta sebab-sebab yang bersifat kebahasaan. Di sini dapat dicontohkan seperti firman Allah dalam surat al-fath: 10 yang berbunyi يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ. Kata "yadun" secara etimologi adalah tangan tetapi itu makna kiasan sehingga ditafsirkan dengan "kekuasaan", karena tangan identik dengan kekuasaan. Maka arti dari ayat tersebut adalah "kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka". Demikian juga arti ayat dalam surat al-Maidah: 38 وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا yang dipotong adalah "kekuasaannya" bukan tangan dalam arti dhahirnya, senada dengan ayat tersebut adalah firman Allah surat ar-Rum:41 ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ adanya kerusakan di darat dan di laut akibat dari kekuasaan/perbuatan manusia.
Contoh lain kata `abd, yang dalam berbagai buku terjemahan al-Qur`an diartikan sebagai hamba, ternyata disebut paling banyak. Hanya saja makna hamba tersebut tidak bisa diartikan sebagai terkekangnya manusia di hadapan Allah. Misalnya, pada QS al-`Alaq/96: 6-10, kata “hamba” ditujukan kepada Rasulullah yang mempunyai derajat tinggi di mata Allah maupun manusia, bukan sebagai “jajahan” Allah, ini juga terdapat pada QS. Al-Fajr/89:29, QS. Qaf/50:8, al-Fathir/35:28. Al-Qamar/54:9, dan Shad/38:17. Hampir kesemuanya dikenakan pada manusia yang sangat dihargai oleh Allah melalui perjalanan isyra, atau diangkatnya Dawud, manusia-hamba, sebagai khalifah, dan sejenisnya.
Tapi ‘abd itu, dalam beberapa ayat memang benar-benar budak, misalnya dalam al-Qur`an surat al-Baqarah/2:178 dan 221. Allah juga tidak menganiaya kepada hamba-hamba-Nya (QS. Al-Hajj/22:10). Bahkan Allah itu bersikap lemah lembut kepada hamba-hambanya dan memberikan rezekinya (QS. Al-Syura/42:19). Uraian tersebut mengemukakan “harga” manusia sebagai `abd dalam relasinya dengan Allah yang masih tetap bebas dan tidak dikekang dalam segala hal oleh kehendak Allah. Kondisi inilah yang memungkinkan manusia sebagai `abd bisa menjalankan tugas lainnya, sebagai khalifah.
Adanya temuan awal inilah yang menjadikan peneliti merasa tertarik untuk menemukan lebih banyak lagi beberapa kosa kata nomina bahasa Arab dalam Alquran yang mengalami perubahan makna dari makna aslinya karena pengaruh ekstra-lingual yang melingkupinya mulai dari surat Al-Baqarah sampai surat An-Nass yang dipilih secara acak. Diduga ada ratusan nomina bahasa Arab Alquran yang mengalami perubahan makna dari makna aslinya yang berimplikasi sosial terhadap pembacanya.
Perubahan makna tersebut sebagaimana dikatakan Allan (1986) merupakan fenomena linguistik yang benar-benar tidak teratur dan tidak sistematis. Perubahan makna tidak terjadi pada semua kosakata, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Apa saja bentuk-bentuk nomina yang mengalami perubahan makna dalam bahasa Arab Alquran?
2. Bagaimana proses terjadinya perubahan makna nomina bahasa Arab dalam Alquran?
3. Bagaimana implikasi sosial terhadap perubahan makna nomina bahasa Arab dalam Alquran?
1.3 Pembatasan Masalah
Penelitian ini membatasi diri pada pencarian kata benda/isim/nomina bahasa Arab yang terdapat dalam Alquran saja yang mengalami perubahan makna dari makna aslinya karena pengaruh ekstra lingual yang melingkupinya dengan dipilih secara acak dan kata-kata tersebut berimplikasi sosial terhadap pembacanya. Kata benda/isim/nomina yang dipilih karena isim adalah kata yang menunjukan suatu makna yang ada pada zatnya, tetapi tidak berkaitan dengan waktu atau kala dan nomina merupakan pembentuk kalimat terbanyak dalam bahasa Arab Alquran, di samping kata kerja/fiil dan huruf.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Memperhatikan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui bentuk-bentuk nomina yang mengalami perubahan makna dalam bahasa Arab Alquran?
2. Mengetahui proses terjadinya perubahan makna nomina dalam bahasa Alquran
3. Mengetahui implikasi sosial keagamaan terhadap perubahan makna nomina bahasa Arab Alquran
Signifikansi dari penelitian adalah sebagai berikut.
1. Memperkaya khasanah keilmuan dalam bidang linguistik Arab khususnya kajian semantik yang terdapat dalam isim/nomina/kata benda bahasa Arab Alquran yang dipilih secara acak akibat mengalami perubahan makna.
2. Menambah kosa kata baru dalam ranah perkamusan bahasa Arab sesuai perkembangan situasi-kondisi, pengaruh sains dan teknologi serta realitas sosial budaya yang melingkupinya.
3. Memberikan wawasan akademis dalam pengembangan ilmu semantik dengan beberapa variannya.
4. Dapat dijadikan acuan pembelajaran ilmu semantik bahasa Arab bagi mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab STAIN Pekalongan.
5. Menambah referensi atau daftar pustaka kajian ilmu linguistik Arab.
6. Memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai nomina bahasa Arab dalam Alquran yang berimplikasi sosial terhadap pembacanya.
1.5 Kajian Pustaka
Berdasarkan kajian literatur yang peneliti lakukan, memang sudah ada beberapa buku dan penelitian yang mengkaji tentang analisis semantik secara umum di antaranya sebagai berikut.
Pertama, buku yang ditulis Mardjoko Idris (2008) berjudul "Semantik Alquran: Pertentangan dan Perbedaan Makna". Buku ini membicarakan tentang pandangan para Linguis terhadap pertentangan makna. Pandangan Linguis tradisional yang memandang bahwa pertentangan makna adalah satu kata yang mempunyai 2 makna, seperti kata خاتم yang bisa bermakna "cincin" dan juga bermakna akhir "akhir". Sedangkan pengertian pertentangan makna menurut linguis modern adalah adanya dua kata yang bertentangan makna/arti, seperti الباطل dengan الحقّ. Buku ini juga membicarakan tentang perluasan makna yang disebabkan oleh (1) sebab konteks bahasa yang mengitarinya, (2) sebab gaya bahasa majaz, (3) dan sebab perbedaan mufrad. Contoh yang dikemukakan memang berupa isim dalam Alquran tetapi masih sangat terpatas, seperti hanya mengupas kata nomina الباطل, الفاحشة, اسفار, dan الأمثال yang saling berbeda maknanya pada setiap teks ayat.
Kedua, buku yang ditulis oleh M. Quraish Shihab (1999) berjudul "Mukjizat Al-Qur'an: Dilihat dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib". Buku tersebut membicarakan tentang satuan-satuan kebahasaan yang memiliki hubungan bentuk dan makna dengan satuan kebahasaan yang lain tentang keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya dalam Alquran, misalnya kata الحياة (kehidupan) dan الموت (kematian) dalam Alquran sama-sama sebanyak 145 kali, keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya dalam Alquran, misalnya kata الحرث (membajak sawah) dan الزراعة (bertani) masing-masing ada 14 kali dalam Alquran.
Ketiga, buku yang ditulis oleh Taufiqurrahman berjudul "Leksikologi Bahasa Arab". Buku ini membicarakan perubahan makna yang hanya terdapat dalam perkamusan Arab – Indonesia, seperti kamus Munawwir tanpa melihat faktor historis dan aspek kebahasaan yang melingkupinya.
Keempat, penelitian yang dilakukan Dimjati Ahmadin (2009) berjudul "Analisis-Analisis Semantik dan Stilistik pada Terjemahan Bahasa Inggris Juz-‘Amma dari Kitab suci Al-Qur'an oleh A. Yusuf Ali, T. B. Irving, and N. J. Dawood". Dalam penelitian ini menganalisis penerjemahan Juz-‘Amma (bagian dari Al Qur’an) dari bahasa Arab (bahasa sumber) ke bahasa Inggris (bahasa tujuan) yang dilakukan oleh A. Yusuf Ali, T. B. Irving, dan N. J. Dawood. Secara lebih khusus, penelitian ini membahas isu-isu terkait perubahan makna-makna kata, sintaksis, wacana, tindak tutur (speech acts), dan bagaimana penerjemah mempertahankan gaya-gaya bahasa (language style) dan metode penerjemahan yang tepat dalam Alquran (Juz'amma).
Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Selviana Ika Prattywi yang berjudul "Analisis Sintak-Semantik Kontranimi Bahasa Arab dalam Al-Quran Al-Alkarim". Tujuan penelitian ini adalah mengetahui data-data kontranimi dalam Al-Quran Al- Karim secara makna gramatikal, secara semantis, dan klasifikasinya. Konsep kontranimi dalam penelitian ini adalah kompilasi dari konsep kontranimi yang pernah diusung oleh para linguis seperti Wright, Umar, Yusuf, Haidar, Wastono, Al-Ghalayini, dan Kamaluddin. Konsep kontranimi dirumuskan menjadi (1) kontranimi kategorial yaitu suatu kata kontranimi yang diidentifikasi dari bentuk gramatikalnya, (2) kontranimi antonimi yaitu kata yang memiliki pertentangan makna antara makna gramatikal terhadap semantisnya, dan (3) kontranimi majazi yaitu kontranimi yang berupa majas mursal dan majas aqli. Ruang lingkup penelitian ini adalah lima surat pertama Al-Quran yaitu surat Al- Fatihah, Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, dan Al-Maidah. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat 97 ayat yang mengandung kontranimi. Namun, hanya 55 ayat yang dijadikan sampel data dan dikemukakan dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 20 ayat merupakan kontranimi kategorial, 13 ayat merupakan kontranimi antonimi, dan 20 ayat merupakan kontranimi majazi.
Dari beberapa kajian sebelumnya belum menyentuh secara substansial dan menyeluruh tentang kajian nomina bahasa Arab Alquran yang mengalami perubahan makna dan penelitian sebelumnya masih bersifat parsial. Penelitian yang akan peneliti lakukan sekarang ini akan mengupas tuntas bagaimana perubahan makna bisa terjadi dilihat dari aspek historis dan aspek kebahasaan pada suatu nomina bahasa Arab sehingga implikasinya akan banyak penemuan-penemuan kosa kata baru yang belum pernah ada sebelumnya dalam kajian semantik. Maka dapat dikatakan bahwa bahasa Arab Alquran yang maknanya literal dapat dimaknai dengan pemaknaan kontemporer.
1.6 Kerangka Teori
Kajian yang digunakan dalam penelitian adalah kajian sosio-semantik. Kajian ini sebagai perpaduan antara sosiologi dan semantik. Semantik sebagai ilmu yang mengkaji tentang makna dan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari setiap gejala interaksi sosial, struktur sosial, dan proses-proses sosial. Batasan dalam kajian ini adalah masyarakat dan makna suatu bahasa. Sosio-semantik melakukan analisis makna suatu bahasa dari dua atau lebih kata yang sama atau beberapa kata yang berbeda dari makna yang sama.
Proses kajian ini dilihat dari aspek-aspek sosiologis sebagai ilmu sosial kemasyarakatan, termasuk di dalamnya perubahan-perubahan sosial. Jadi, secara tidak langsung, sosio-semantik mengikuti setiap reaksi perubahan sosial -dalam analisis sosiologis- yang membawa dampak terhadap berubahnya pemakaian bahasa dan makna .
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semantik mengenai perubahan makna yang terdiri atas sebagai berikut.
1. Perluasan Arti, yaitu suatu proses perubahan makna yang dialami sebuah kata yang tadinya mengandung suatu makna yang khusus, kemudian meluas sehingga melingkupi sebuah kelas makna yang lebih umum. Contohnya adalah kata Saudara pada mulanya hanya bermakna ‘seperut’ atau ‘sekandungan’. Kemudian, maknanya berkembang menjadi ‘siapa saja yang sepertalian darah’. Selanjutnya, siapa pun yang masih mempunyai kesamaan asal usul disebut Saudara. Kini, siapa pun dapat disebut Saudara.
2. Penyempitan Arti, yaitu sebuah proses yang dialami sebuah kata di mana makna yang lama lebih luas cakupannya dari makna yang baru. Misalnya, kata sarjana yang pada mulanya berarti ‘orang pandai’ atau ‘cendekiawan’, kemudian hanya berarti ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi’ seperti pada sarjana hukum, sarjana ekonomi, dan lain sebagainya.
3. Ameliorasi, yaitu proses perubahan makna di mana arti yang baru dirasakan lebih tinggi atau lebih baik nilainya dari arti yang lama. Misalnya, asal makna kata wanita lebih rendah daripada kata perempuan. Kini, kata wanita nilai rasanya lebih tinggi daripada kata perempuan.
4. Peyorasi, yaitu suatu proses perubahan makna sebagai kebalikan dari ameliorasi. Dalam peyorasi, arti yang baru dirasakan lebih rendah nilanya dari arti yang lama. Misalnya, kata bini dianggap tinggi pada zaman lampau, sekarang dirasakan sebagai kata yang kasar
4. Sinestesia, yaitu perubahan makna kata akibat pertukaran tanggapan dua indera yang berlainan. Dalam penggunaan bahasa banyak terjadi kasus pertukaran tanggapan antara indera yang satu dengan indera yang lain. Rasa manis yang seharusnya ditanggap dengan alat indera perasa pada lidah, tertukar menjadi ditanggap oleh alat indera penglihatan seperti tampak dalam ucapan “Wajahnya sangat manis.”
5. Asosiasi, yaitu perubahan makna kata yang terjadi karena persamaan sifat. Contohnya, kata amplop asalnya bermakna ‘wadah untuk memberi uang’. Kini, maknanya menjadi suap.
6. Metonimi, yaitu suatu proses perubahan makna terjadi karena hubungan yang erat antara kata-kata yang terlibat dalam suatu lingkungan makna yang sama, dan dapat diklasifikasi menurut tempat atau waktu, menurut hubungan isi dan kulit, hubungan antara sebab dan akibat. Contohnya, kata kota tadinya berarti susunan batu yang dibuat mengelilingi sebuah tempat pemukiman sebagai pertahanan terhadap serangan dari luar. Sekarang kota merupakan tempat pemukiman, walaupun sudah tidak ada batunya lagi .
1.7 Metodologi Penelitian
Metode yang baik adalah metode yang sesuai dengan sifat objeknya. Untuk mengetahui sifat objeknya, maka teorilah yang menuntunnya. Kerja sama yang baik antara metode dan teori merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian bahasa.
1.7.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penanganan bahasa menurut beberapa tahapan strateginya yang terdiri atas tiga macam metode, yaitu (1) pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Metode deskriptif menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomen yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan atau dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti apa adanya.
1.7.2 Sumber Data
Agar mendapatkan sumber data yang akurat, maka pada tahap pertama hal yang dilakukan adalah menjaring data sebanyak-banyaknya yang sesuai dengan tema penelitian. Pada tahap ini digunakan metode simak dengan teknik catat dalam kartu data. Data diambil dari nomina bahasa Arab Alquran yang mengalami perubahan makna. Pencarian data dari nomina bahasa Arab Alquran diperoleh secara acak. Selanjutnya data tersebut diklasifikasikan menurut kelompoknya untuk mempermudah analisis data.
1.7.3 Metode Analisis Data
Tahap berikutnya yaitu analisis data berupa pengklasifikasian data berdasarkan struktur kebahasaannya, yaitu kata dan frasa. Metode yang digunakan adalah metode padan, yaitu metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Teknik yang digunakan, yaitu metode padan translasional dengan alat penentunya berupa padanan pada bahasa atau langue lain. Dalam analisis bentuk serapan, digunakan cara membandingkan bentuk asal dengan bentuk serapan. Cara membandingkannya dengan melihat arti dan bentuk kata pada kamus Munjid, Maurid, Munawir dan Lisanul Arab serta beberapa kamus Arab lainnya. Dengan demikian, akan diketahui adanya perbedaan arti dan bentuk.
Tahap ketiga, yaitu penyajian hasil analisis data. Hasil analisis yang diperoleh dipaparkan dengan metode penyajian informal yaitu dengan perumusan kata-kata biasa.


BAB II
NOMINA BAHASA ARAB DALAM KAJIAN SOSIOSEMANTIK
Kajian yang digunakan dalam penelitian adalah kajian sosiosemantik. Kajian ini sebagai perpaduan antara sosiologi dan semantik. Semantik sebagai ilmu yang mengkaji tentang makna dan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari setiap gejala interaksi sosial, struktur sosial, dan proses-proses sosial. Batasan dalam kajian ini adalah masyarakat dan makna suatu bahasa. Sosiosemantik melakukan analisis makna suatu bahasa dari dua atau lebih kata yang sama atau beberapa kata yang berbeda dari makna yang sama.
Proses kajian ini dilihat dari aspek-aspek sosiologis sebagai ilmu sosial kemasyarakatan, termasuk di dalamnya perubahan-perubahan sosial. Jadi, secara tidak langsung, sosiosemantik mengikuti setiap reaksi perubahan sosial -dalam analisis sosiologis- yang membawa dampak terhadap berubahnya pemakaian bahasa dan makna.
2.1 Pembagian Kata dalam Bahasa Arab
Dalam tata bahasa Arab, "kata" dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu sebagai berikut.
1. ISIM ( اِسْم ) atau "kata benda". Contoh: مَسْجِد (= masjid)
2. FI'IL ( فِعْل ) atau "kata kerja". Contoh: أُصَلِّيْ (= saya shalat)
3. HARF ( حَرْف ) atau "kata tugas". Contoh: فِيْ (= di, dalam)
Penggunaan istilah kata benda, kata kerja, dan kata tugas dalam tata bahasa Indonesia, tidak sama persis dengan isim, fi'il, dan harf dalam tata bahasa Arab.
2.2 Macam-macam Nomina dalam Bahasa Arab
Isim adalah kata yang menunjukkan makna pada dirinya dan tidak berkaitan dengan waktu . Dalam golongan Isim, ada yang disebut dengan isim 'alam, yaitu isim yang merupakan nama dari seseorang atau sesuatu. Berikut ini beberapa contoh isim 'alam (nama).
مُحَمَّد - آدَم - إِدْرِيْس - نُوْح - إِبْرَاهِيْم - إِسْمَاعِيْل - إِسْحَاق - يَعْقُوْب - يُوْسُف - مُوْسَى - سُلَيْمَان - يُوْنُس - عِيْسَى - مَرْيَم - خَدِيْجَة - عَائِشَة - فَاطِمَة - عُمَر - عُثْمَان - جِبْرِيْل - مِيْكَال - لُقْمَان - زَيْد - فِرْعَوْن - قَارُوْن - إِبْلِيْس - عِفْرِيْت - مَكَّة - مَدِيْنَة
Dalam tata bahasa Arab, dikenal adanya penggolongan isim ke dalam mudzakkar (laki-laki) atau muannats (perempuan). Penggolongan ini ada yang memang sesuai dengan jenis kelaminnya (untuk manusia dan hewan) dan adapula yang merupakan penggolongan secara bahasa saja (untuk benda dan lain-lain).
Contoh Isim Mudzakkar Contoh Isim Muannats
عِيْسَى (= 'Isa) مَرْيَم (= Maryam)
بَقَرٌ (= sapi jantan) بَقَرَةٌ (= sapi betina)
بَحْرٌ (= laut) رِيْحٌ (= angin)
Dari segi bentuknya, Isim Muannats biasanya ditandai dengan adanya tiga jenis huruf di belakangnya, yaitu sebagai berikut.
a) Ta Marbuthah ( ة ). Misalnya: فَاطِمَة (=Fathimah), مَدْرَسَة (=sekolah)
b) Alif Maqshurah ( ى ). Misalnya: سَلْمَى (=Salma), حَلْوَى (=manisan)
c) Alif Mamdudah ( اء ). Misalnya: أَسْمَاء (=Asma'), سَمْرَاء (=pirang)
Namun, adapula Isim Muannats yang tidak menggunakan tanda-tanda di atas.
Misalnya: رِيْحٌ (= angin), نَفْسٌ (= jiwa, diri), شَمْسٌ (= matahari)
Bahkan, ada pula beberapa Isim Mudzakkar yang menggunakan Ta Marbuthah.
Contoh: حَمْزَة (= Hamzah), طَلْحَة (= Thalhah), مُعَاوِيَة (= Muawiyah)
Dari segi bilangannya, bentuk-bentuk Isim dibagi tiga, yaitu sebagai berikut.
1) ISIM MUFRAD (tunggal) kata benda yang hanya satu atau sendiri.
2) ISIM MUTSANNA (dual) kata benda yang jumlahnya dua.
3) ISIM JAMAK (plural) atau kata benda yang jumlahnya lebih dari dua.
Isim Mutsanna (Dual) bentuknya selalu beraturan yakni diakhiri dengan huruf Nun Kasrah ( نِ ), baik untuk Isim Mudzakkar maupun Isim Muannats. Contoh:
Mufrad Tarjamah Mutsanna Tarjamah
رَجُلٌ = seorang laki-laki رَجُلاَنِ = dua orang laki-laki
جَنَّةٌ = sebuah kebun جَنَّتَانِ = dua buah kebun
Adapun Isim Jamak, dari segi bentuknya terbagi dua macam.
1. JAMAK SALIM (جمْع سَالِم ) yang bentuknya beraturan:


Mufrad
Tarjamah Jamak Tarjamah
اِبْنٌ = seorang putera بَنُوْنَ = putera-putera
بِنْتٌ = seorang puteri بَنَاتٌ = puteri-puteri
مُسْلِمٌ = seorang muslim مُسْلِمُوْنَ = muslim-muslim
مُسْلِمَةٌ = seorang muslimah مُسْلِمَاتٌ = muslimah-muslimah
2. JAMAK TAKSIR (جَمْع تَكْسِيْر ) yang bentuknya tidak beraturan:
Mufrad Tarjamah Jamak Tarjamah
رَسُوْلٌ = seorang rasul رُسُلٌ = rasul-rasul
عَالِمٌ = seorang alim عُلَمَاءُ = orang-orang alim
رَجُلٌ = seorang laki-laki رِجَالٌ = para laki-laki
اِمْرَأَةٌ = seorang perempuan نِسَاءٌ = perempuan-perempuan
Menurut penunjukannya, Isim dapat dibagi dua yaitu sebagai berikut.
1. ISIM NAKIRAH atau kata benda sebarang atau tak dikenal (tak tentu).
2. ISIM MA’RIFAH atau kata benda dikenal (tertentu).
Isim Nakirah merupakan bentuk asal dari setiap Isim, biasanya ditandai dengan huruf akhirnya yang bertanwin ( ً ٍ ٌ ). Isim Ma'rifah biasanya ditandai dengan huruf Alif-Lam ( ال ) di awalnya.
Contoh Isim Nakirah: بَيْتٌ (= sebuah rumah), وَلَدٌ (= seorang anak)
Contoh Isim Ma'rifah: اَلْبَيْتُ (= rumah itu), اَلْوَلَدُ (= anak itu)
Coba bandingkan dan perhatikan perbedaan makna dan fungsi antara Isim Nakirah dan Isim Ma'rifah dalam dua buah kalimat di bawah ini.
ذَلِكَ بَيْتٌ. اَلْبَيْتُ كَبِيْرٌ. = Itu sebuah rumah. Rumah itu besar.
جَاءَ وَلَدٌ. اَلْوَلَدُ مُؤَدِّبٌ. = Datang seorang anak. Anak itu sopan.
Selain Isim yang berawalan Alif-Lam, yang juga termasuk Isim Ma'rifah adalah sebagai berikut.
1. ISIM 'ALAM (Nama). Semua Isim 'Alam termasuk Isim Ma'rifah, meskipun diantara Isim 'Alam tersebut ada yang huruf akhirnya bertanwin.
Contoh: أَحْمَدُ (= Ahmad), عَلِيٌّ (= Ali), مَكَّةُ (= Makkah)
2. ISIM DHAMIR (Kata Ganti). Yaitu kata yang mewakili atau menggantikan penyebutan sesuatu atau seseorang atau sekelompok benda/orang. Contoh: أَنَا (= aku, saya), نَحْنُ (= kami, kita), هُوَ (= ia, dia)

BAB III
SEMANTIK AL-QUR’AN DAN PERUBAHAN MAKNA

Al-Qur’an merupakan kitab suci berbahasa Arab yang teragung (Kitâb Al-‘Arabiyyah Al-Akbar) dengan nilai sastra yang sangat tinggi, namun gaya sastra al-Qur’an berbeda dengan umumnya gaya sastra Arab yang dimiliki masyarakat Arab, sebab gaya bahasanya tidak dapat sepenuhnya disebut sebagai prosa (natsar), di samping juga tidak bisa sepenuhnya diklaim sebagai bentuk puisi (syi’ir). Lebih dari pada itu, gaya bahasanya yang senantiasa berubah dan susunannya yang tidak sistematis, paling tidak, terlihat pada ritme dan bait ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, al-Qur’an sebagai kumpulan tanda-tanda linguistik yang harus dipecahkan,mendorong beberapa sarjana muslim kontemporer untuk menggunakan pendekatan susastra dalam studi al-Qur’an.
Sudah dimaklumi, bahwa al-Qur’an pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Arab pada masa nabi Muhammad. Keahlian mereka adalah bahasa dan sastra Arab. Di antara mereka telah terbangun tradisi berlomba-lomba untuk mencipta dan menggubah puisi, khutbah dan nasehat. Karya-karya mereka yang dinilai indah akan digantungkan di atas dinding Ka’bah, dan bahkan didendangkan di hadapan publik. Para penyair atau sastrawan mendapat kedudukan istimewa di tengah masyarakat Arab.
Oleh karena masyarakat Arab mengklaim bahwa al-Qur’an bukan merupakan firman Allah, dan pada saat yang sama, mereka memiliki keahlian dalam bidang bahasa, maka tidak mengherankan jika tantangan pertama yang dilontarkan oleh al-Qur’an kepada mereka yang ragu, adalah menyusun kalimat semacam al-Qur’an: minimal dari segi keindahan dan ketelitiannya. Dari sini dapat dikatakan, bahwa keunikan dan keistimewaan al-Qur’an dari aspek bahasa merupakan kemukjizatan yang utama dan pertama yang ditujukan kepada masyarakat Arab. Kemukjizatan yang dihadapkan kepada mereka ketika itu, bukan dari segi isyarat ilmiah, pemberitaan gaib, karena kedua aspek itu berada di luar pengetahuan dan kemampuan mereka.
Keistimewaan bahasa yang dimiliki oleh al-Qur’an inilah yang diakui oleh M. Pickthall sebagai sebuah bentuk simfoni yang tidak bisa ditiru, suara sejati yang menggerakkan manusia menuju keharuan dan kebahagiaan. Atau yang dalam istilah Safa Khulusi disebut sebagai salah satu bentuk panorama spiritualitas islam. Hal itulah yang mendorong Amin al-Khuli salah seorang sastrawan besar Mesir, untuk mengatakan bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab sastra terbesar sepanjang masa. Ia adalah buku seni (sastra) Arab yang suci, Buku Agung berbahasa Arab dan karya sastra yang tinggi.
3.1 Semantik Alquran
Secara metodologis, studi tafsir Al-Qur’an mengalami perkembangan. Jika pada masa klasik studi al-Qur’an masih diwarnai oleh pemahaman yang didasarkan atas kecenderungan tertentu, seperti gramatika, retorika dan kandungan tematiknya, seperti fiqih, tauhid, kisah dan lain sebagainya, maka memasuki masa modern tafsir al-Qur’an lebih dilihat secara fungsional, di mana fungsi dan tujuan diwahyukannya al-Qur’an kepada manusia adalah untuk memberikan petunjuk (hudan), sebagaimana yang digagas oleh Muhammad Abduh.
Menurut Muhammad Abduh, tujuan yang pertama dan utama dari ilmu tafsir adalah merealisasikan keberadaan al-Qur’an itu sendiri sebagai petunjuk (hudan) dan rahmat Allah swt, dengan menjelaskan hikmah kodifikasi kepercayaan, etika dan hukum menurut cara yang paling bisa diterima oleh pikiran dan menenangkan perasaan. Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya dari tafsir al-Qur’an adalah untuk mencari petunjuk kebenaran di dalam Al-Qur’an. Pandangan ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Amin al-Khuli, dengan tetap melihat Al-Qur’an sebagai hudan, ia melihat Al-Qur’an itu sendiri sebagai bagian dari fakta-fakta sosio-historis. Di sini al-Qur’an dilihat sebagai apa adanya dalam kaitannya dengan masyarakat Arab yang pertama kali menerimanya. Ia muncul dalam bingkai dialektika antara wahyu dengan realitas masyarakat pada saat itu. Sebagai fakta, al-Qur’an merupakan fakta bahasa dan susastra.
Sebagai kitab sastra, tentu saja al-Qur’an bisa didekati dengan pendekatan susastra. Pendekatan ini, atau dalam terminologi Amin al-Khuli disebut al-manhaj al-adabi. Pada era Amin al-Khuli lah, pendekatan susastra tersebut mulai diformulasikan sebagai metode penafsiaran al-Qur’an. Pendekatan tersebut, seperti dirumuskan Amin al-Khuli sendiri, untuk memperoleh pesan al-Qur’an secara menyeluruh dan terhindar dari subyektifitas ideologis individu. Sebab, kepentingan demikian ini akan membuat al-Qur’an hanya berfungsi sebagai legitimasi yang sarat dengan subyektivitas mufassirnya.
Trend pendekatan susastra dalam menafsirkan al-Qur’an tersebut di atas sebenarnya merupakan kelanjutan atas studi al-Qur’an yang telah banyak dilakukan para mufasssir masa klasik, yang benih-benihnya telah ada sejak masa Nabi saw. dan sahabatnya, di antaranya adalah Al-Farra’ dengan karya tafsirnya Ma’anil Quran, Abu Ubaidah, Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian dikembangkan lagi oleh Amin Al-Khuli yang kemudian teori-teorinya di aplikasikan oleh Aisyah bint Al-Syati’ dalam tafsirnya Al-Bayân Li Qurân Al-Karîm, gagasan Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori Semantik Alquran.
Toshihiko Izutsu, dalam bukunya Ethico Religius Concept in the Qur’an, menerapkan metode semantik dalam mengolah teks al-Qur’an. Metode ini dilakukan dengan cara studi analisis terhadap perspektif-perspektif yang tersarikan dalam kata-kata. Dengan demikian penafsiran al-Qur’an harus bertumpu pada kosa katanya, baik secara individual maupun secara rasional dalam jaring atau struktur tertentu.
Toshihiko Izutsu terkenal sebagai intelektual yang dalam kajian Islamnya menggunakan pendekatan semantik (ia menyebutnya Semantik al-Qur’an). Ia, ketika hendak mengkaji Islam, misalnya tentang tuhan dan manusia atau tentang konsep-konsep etika kepercayaan dalam Islam, maka untuk mengetahui jawaban dari masalah tersebut, ia merujuk pada al-Qur’an sebagai sumbernya. Jadi, dari sini dapat dikatakan juga, bahwa konsentrasi Izutsu dalam kajian Islam adalah studi al-Qur’an. Ia menjadikan al-Qur’an sebagai objek kajian, sementara semantik adalah metodenya. Adapun yang dimaksud dengan semantik, menurut Toshiko Izutsu, adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.
Penerapan metode semantik terhadap al-Qur’an berarti berusaha menyingkap pandangan dunia al-Qur’an melalui analisis semantik atau konseptual terhadap bahan-bahan dalam al-Qur’an sendiri, yakni kosa-kata atau istilah-istilah penting yang banyak dipakai oleh al-Qur’an. Asumsi dasar Izutsu terhadap kajian semantis ini adalah bahwa al-Qur’an, meski mengunakan bahasa Arab, akan tetapi ia memiliki bagunan maknanya sendiri, dunianya sendiri, yang berdiri secara independen daripada bahasa Arab pra Islam.
3.2 Perubahan Makna dalam Nomina Bahasa Arab
Salah satu ciri dan hakikat sebuah bahasa adalah bahasa itu bersifat dinamis. Menurut Chaer dan Agustina, dinamis dalam konteks hakikat bahasa adalah bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada semua ranah linguistik, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikon. Dalam penelitian ini, perubahan hanya pada ranah semantik khususnya nomina yang terdapat dalam Alquran.
Kedinamisan setiap bahasa itu terjadi karena bahasa adalah hasil kebudayaan manusia. Manusia adalah makhluk dinamis dan kreatif yang cenderung kepada perubahan dan tidak statis. Oleh karena itu, bahasa akan mengalami perkembangan secara terus menerus sesuai perkembangan pemikiran dan kebutuhan manusia sebagai pemakai bahasa termasuk bahasa Arab dalam Alquran itu sendiri.
Perkembangan makna mencakup segala hal tentang makna yang berkembang, berubah, dan bergeser. Bahasa mengalami perubahan dirasakan oleh setiap orang, dan salah satu aspek dari perkembangan makna (perubahan arti) yang menjadi objek telaah semantik historis. Perkembangan bahasa sejalan dengan perkembangan penuturnya sebagai pemakai bahasa. Kita ketahui bahwa penggunaan bahasa diwujudkan dalam kata-kata dan kalimat. Pemakai bahasa yang menggunakan kata-kata dan kalimat, pemakai itu pula yang menambah, mengurangi, atau mengubah kata-kata atau kalimat .
Gejala perubahan makna sebagai akibat dari perkembangan makna oleh para pemakai bahasa. Bahasa berkembang sesuai dengan perkembangan pikiran manusia.
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya perubahan makna antara lain adalah sebagai berikut.
a. Bahasa berkembang seperti yang dikatakan Meilet: “This continuous way from one generation to another”.
b. Makna kata itu sendiri samar, tanpa konteks tak jelas maknanya.
c. Kehilangan motivasi
d. Adanya makna ganda
e. Karena ambigu
f. Struktur kosakata
Perubahan makna juga dapat terjadi sebagai akibat dari sebagai berikut.
a. Faktor kebahasaan (linguistic causes)
b. Faktor kesejarahan (historical causes) yang dapat diuraikan atas objek, institusi, ide, dan konsep ilmiah
c. Sebab sosial (social causes)
d. Faktor psikologis (psychological causes) yang berupa faktor emotif, kata-kata tabu, yaitu (1) tabu karena takut, (2) tabu karena kehalusan, dan (3) tabu karena kesopanan.
e. Pengaruh bahasa asing
f. Kebutuhan akan kata-kata baru
Menurut Abdul Chaer dalam Taufiqqurrahman beberapa perubahan makna itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (a) perkembangan Iptek, (2) perkembangan sosial budaya, (3) perkembangan pemakaian kata, (4) perkembangan tanggapan indera, dan adanya (5) asosiasi. Menurut Pateda dalam Taufiqqurrahman, penyebab perubahan makna dalam bahasa Arab dipengaruhi empat faktor, yaitu: (1) faktor bahasa, (2) faktor kebahasaan, (3) kebutuhan-kebutuhan kata baru, dan (4) faktor bahasa asing.
Bentuk proses atau cara terjadinya perubahan makna, melalui beberapa proses berikut: (a) Perluasan Arti (تعميم), (b). Penyempitan Arti (تخصيص) (c). peminjaman kata sebab maknanya serupa (Isti’arah), (d). Perubahan makna di mana arti yang baru dirasakan lebih tinggi atau lebih baik nilainya dari arti yang lama (Ameliorasi), (e). Perubahan makna di mana arti yang baru dirasakan lebih rendah nilanya dari arti yang lama (Peyorasi), (f). Perubahan makna kata akibat pertukaran tanggapan dua indera yang berlainan (Sinestesia), (g). Perubahan makna kata yang terjadi karena persamaan sifat (Asosiasi), (h). Perubahan makna terjadi karena hubungan yang erat antara kata-kata yang terlibat dalam suatu lingkungan makna yang sama, dan dapat diklasifikasi menurut tempat atau waktu, menurut hubungan isi dan kulit, hubungan antara sebab dan akibat (Metonimi).


BAB IV
ANALISIS PERUBAHAN MAKNA
NOMINA BAHASA ARAB DALAM AL-QUR’AN

Bahasa sangatlah dinamis. Sebuah bahasa bisa tumbuh, berkembang, berubah dan mengglobal. Bahasa mengalami timbul tenggelam bahkan mati dibawa oleh penuturnya. Bahasa mati adalah bahasa yang tidak memiliki penutur asli lagi atau memang tidak dipergunakan lagi. Sebuah bahasa apabila tidak didokumentasikan akan hilang selamanya apabila sudah tidak ada penuturnya lagi. Tetapi apabila didokumentasikan maka bahasa yang sudah matipun kadangkala dihidupkan lagi.
Beberapa bahasa mati diantaranya adalah bahasa Sumeria yang pernah dituturkan di daerah yang sekarang disebut Irak, bahasa Galia yang dituturkan di daerah yang sekarang disebut Perancis. Tetapi ada bahasa yang sekarang sudah tidak memiliki penutur asli lagi tetapi masih digunakan sebagai bahasa untuk mengiringi ritual keagamaan, ini yang disebut sebagai bahasa liturgis, beberapa contoh bahasa liturgis adalah bahasa Koptik yang digunakan oleh umat Kristen Koptik di Mesir dan sekitarnya, bahasa Aram atau Iram yang digunakan oleh umat Kristen Ortodoks di Suriah, bahasa Latin yang digunakan oleh umat Katolik, bahasa Sansekerta yang digunakan oleh umat Hindu dan Buddha, dan bahasa Pali yang digunakan oleh umat Buddha.d
4.1 Faktor-faktor Penyebab Perubahan Makna
Dinamika bahasa itu juga terjadi dalam ranah makna. Karena berbagai faktor, makna kata dapat berubah atau bergeser dari makna sebelumnya. Ada dua faktor yang menyebabkan perubahan makna, yaitu faktor linguis dan faktor nonlinguis. Faktor linguis itu berarti faktor di dalam bahasa itu sendiri, seperti aspek fonetis, sintaksis dan morfologis sedangkan faktor nonlinguis berarti faktor yang berasal dari luar bahasa tersebut, seperti faktor sejarah, faktor ilmu dan teknologi, faktor sosial (social causes), faktor psikologis (psychological causes), pengaruh bahasa asing, dan faktor perbedaan bidang pemakaian.
4.1.1 Faktor Bahasa
Bahasa sebagai alat tutur dan komunikasi manusia yang terus berdinamika, juga ikut bergerak dan berubah seiring dengan pergerakan manusia. Oleh karenanya bahasa tidak bisa menetap dan terus berubah. Perubahan ini bisa terjadi pada aspek fonetis (أصوات), morfem (صرفى) dan sintaksis (نحوى).
a. Aspek fonetis
Dari aspek fonetis ada perubahan fonem yang mempengaruhi perubahan makna, diantaranya adalah kata الصوم yang mempunyai arti puasa tetapi yang terdengar adalah الثوم maka akan berubah artinya menjadi bawang putih, kata سريعة yang bermakna “cepat” bisa berubah maknanya karena perbedaan fonem dalam pengucapan dengan شريعة yang artinya “syariat atau undang-undang”, contoh yang lain adalah kata فقرة yang mempunyai arti “point atau item” tetapi karena adanya penerimaan pendengaran yang salah sehingga fonem mengalami perubahan maka menjadi فِكْرَة yang mempunyai makna menjadi “pemikiran”.
Tapi ada juga perubahan fonem yang tidak mengalami perubahan makna, ini yang dalam ulumul qur’an dikenal dengan bacaan qiratus sab’ah (tujuh bacaan), tujuh bacaan yang dimaksud adalah bahasa dari tujuh Qabilah arab pada saat itu atau dengan kata lain bahasa quraisy tetapi merupakan gabungan dari tujuh bahasa kabilah Arab yang terkemuka pada saat itu, dengan dalil bahwa Nabi Ismail as mengadopsi bahasa Arab dari Abu Al Qahtan melalui perdagangan dan hubungan lainnya antara masyarakat dan penguasa.
Tulisannya tetap tetapi bacaannya yang berbeda. Dari tujuh kabilah ini melahirkan perbedaan bacaan dalam Al Quran, contohnya (إنا أنطيناك الكوثر ) bacaan ini pun diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dalam bacaan Alquran yang terkenal sekarang ini dibaca إنا أعطيناك الكوثر. Diantara bacaan fonem yang berbeda dan sering digunakan pada saat itu, adalah:
a. Thamthamaniah adalah bahasa sebagian kabilah Arab dari suku Arab Humair dimana huruf Alif Lam Ta’rif ( أل) diganti dengan Alif dan Mim ( أم) yang dalam pengucapannya lebih condong ke huruf Mim, contohnya kata matahari dan bulan mereka menyebutnya (امشمس ) (امقمر ), maka ketika membaca Alquran surat ash-Syams وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَاdibaca وَامْشَمْسِ وَضُحَاهَا وَامْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا Atsa’aliby mengatakan bahwa thamthamaniah ini adalah bahasanya kabilah Humair. Dalam hadis Abu Hurairah diriwayatkan bahwa ia telah datang menghadap Usman ra, dan Usman pun berkata: Peperangan telah selesai (الآن طاب امضرب) asli dari kalimat tersebut adalah ( طاب الضرب) Dimana alif lam ta’rif diganti dengan Mim, dan menurutnya ini adalah bahasa sebagaian orang Yaman.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan oleh Namr bin Thualub, bahwa Rasulullah SAW bersabda ليس من امبر امصيام في امسفر ) artinya “tiada kebaikan berpuasa dalam perjalanan (musafir)”. Diriwayatkan oleh Tsa’lab dari Al Akhfasy bahwa thamthamaniah adalah bahasanya suku Azad dimana mereka menggantikan alif lam ta’rif dengan alif dan mim.
b. Kasykasya (الكشكشه) yaitu menggantikan Kaf Mukhatab (كاف) dengan Syin (شين) contohnya kata (bapakmu= أبوك) dibaca menjadi (أبوش). Dan juga dalam syair Ibnu AL A’rabi فعيناش عيناها وجيدش جيدها ولكن عظم الساق منش دقيق Ini adalah sebagian bahasa dari orang arab termasuk Mesir dimana kata Ma Alaika ما عليكَ dibaca Ma Alaiysy ما عليش. Contoh lain kata Laka (لك ) dibaca Lesy (لش ), seperti dalam surat al-Insyirah أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ dibaca أَلَمْ نَشْرَحْ لَش صَدْرَكَ contoh lainnya adalah bacaan surat Alfatihahإيّاك نعبد وإيّاك نستعين dibaca إِيَّاشْ نعبد وإيَّاشْ نَسْتَعِيْن. Semua bacaan tersebut tulisannya sama tetapi hanya fonetisnya yang berlainan.
c. Kaskasah (الكسكسه). Kaskasa ini menyerupai Kasykasya yaitu menambahkan huruf Sin (سينا) setelah Kaf Mukhathab (الكاف) untuk menunjukkan terhadap Muannats (feminal), contohnya kata (memberi) (أعطيتك) dibaca ( أعطيتكس) dan (أكرمتك) dibaca (أكرمتكس). Ataupun sama halnya dengan Kasykasya yaitu dengan menggantikan Kaf Mukhathab dengan Sin, contohnya pada kata bapak dan ibu (أبوك) dibaca (أبوس) dan (أمك) dibaca (أمس).
d. Istintha (الاستنطاء ) yaitu menggantikan huruf Ain (العين) yang di sukun dengan huruf Nun (نونا) dan setelahnya adalah huruf Tha (الطاء), contohnya kata (أعطى) dibaca (أنطى), dan dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Hasan dan Thalha ra juga selain mereka membaca ayat Al Kautsar dengan Istintha (إنا أنطيناك الكوثر) dan juga terdapat dalam hadis Rasulullah tentang Doa yaitu sabdanya:(لامانع لما انطيت ولا منطي لما منعت).
e. Khalkhaniah (اللخلخانيه ) yaitu memperpendek atau meringkas Harakat (baris) serta meringankan tekanan pada harakah tasydid, contohnya kata (كأنك) diringkas menjadi (كنك) dan kata (ما شاء الله) menjadi (ما شا الله), seperti firman Allah dalam surat al-A’la. إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّهُ يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى (الأعلى: 7) dibaca إلا ماشا الله
f. Tashil (التسهيل ) yaitu membuang huruf Hamzah (الهمزة) agar lebih mempermudah ucapan, contohnya pada kata sumur dan gelas ( بئر) dibaca ( بير) dan (كأس) dibaca ( كاس) tanpa penulisan dan penyebutan huruf hamzah.
g. Ar Raswu (الرسو ) yaitu menggantikan huruf Sin (السين ) atau Zai (الزاي) dengan huruf Shad (الصاد) atau sebaliknya, contohnya (سلطان) menjadi (صلطان), (أسطوره) menjadi (أصطوره ) dan bacaan ini sangat ma’ruf (terkenal) serta diakui keberadaanya oleh pakar bahasa karena banyaknya terdapat dalam natsr atau prosa bahkan dalam Al Quran, contohnya, bunyi ayat dalam Qs al- Ghasisah: 23 dan Qs Nun: 1 (يسطرون) ( لست عليهم بمسيطر ), bisa dibaca لست عليهم بمصيطر dan يصطرون.
b. Aspek sintaksis (ilmu nahwu)
Misalnya kata قِبْلَةٌ yang terdapat dalam Qs Al-Baqarah: 143 yang artinya “Qiblat” tetapi jika berubah harokat awalnya dengan dibaca harakat dhammah قُبْلَةٌ maka artinya bukan qiblat lagi tetapi “ciuman” walaupun hurufnya sama.
Misalnya yang lain adalah bacaan أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ (التوبة: 3) dalam Qs At-Taubah: 3 yang artinya “Bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin" ayat tersebut pernah dibaca oleh seorang Qari di era Khalifah Ali bin Thalib dengan bacaan أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلِهُ (التوبة: 3) dengan mengkasrahkan kata رَسُوْلِهِ karena رسوله dianggap ma’tuf dengan kata sebelumnya yaitu من المشركين, jika dibaca demikian maka artinya berubah menjadi “Bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrikin dan RasulNya". Penterjemahan seperti ini berakibat sangat fatal karena pengertiannya Rasulullah disamakan dengan orang-orang Musrik.
Dari persoalan sederhana inilah lahirlah ilmu nahwu (sintaksis) yang dicetuskan oleh Abu Al-Aswad Al-Dhuali di era Khalifah Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah.




c. Aspek Morfologis (ilmu sharaf)
Misalnya kata قَتَلَdalam Qs An-Nisa’: 92وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأ artinya “membunuh” tetapi jika dibaca قَاتَلَ maka artinya menjadi “saling membunuh".
4.1.2 Faktor Sejarah
Perubahan kata karena faktor sejarah berhubungan erat dengan perkembangan kata. Dalam Alquran misalnya kata الكتاب yang disebutkan sebanyak 151 kali bermakna semua semua kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt dari kitab Zabur, Taurat, Injil dan Alquran, contoh Qs Al-Baqarah : 2
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2)
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa
Kata Alkitab dalam Qs Al-Baqarah: 2 bermakna kitab Alquran tetapi dalam perkembangan arti, “kitab” bermakna buku atau kitab itu sendiri. Di Indonesia Alkitab diistilahkan dengan Injil. Jadi kata alkitab mengalami perluasan makna bukan hanya kitab-kitab suci tetapi bermakna buku apapun dikatakan sebagai kitab.
Benda atau sesuatu terkadang bentuk dan fungsinya berubah, akan tetapi namanya menetap, sehingga penyebutan nama yang telah melekat pada sesuatu itu, kini telah berubah, misalnya kata خاتم berasal dari kata ختم yang berarti mencetak. Dari akar itu, juga muncul kata ختام yang dahulu bermakna “tanah liat yang dibuat untuk memahat tulisan”. Istilah sekarang kata خَتْمٌ juga menunjukan pada arti stempel. Karena itu lingkaran yang diletakan pada jari-jari juga disebut خاتم karena ia dibuat untuk mencetak tulisan. Di era Nabi Muhammad Saw, cincin beliau digunakan untuk cap/stempel, sehingga kata خاتم menjadi stempel/cap/tanda tangan. Kini kata خاتم masih tetap dikenal, tetapi lebih populer diartikan cincin dan tidak lagi berhubungan dengan masalah mencetak atau memahat. Ini artinya makna kata خاتم telah berubah seiring dengan perubahan fisik, tetapi lafalnya tetap dipakai hingga sekarang.
Tetapi kata خاتم juga mengalami اشتراك اللفظ ومتغير فى المعنى lafalnya sama tetapi maknanya berbeda misalnya kata خاتم dalam Qs Al-Ahzab: 40
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (الأحزاب:40)
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Kata خاتم yang mempunyai arti “akhir” oleh mayoritas muslim dan diartikan “cincin” oleh sebagian kaum muslim yang lain, khususnya komunitas Jamaah Ahmadiyah, maka wajar saja kalau jamaah Ahmadiyah menafsirkan bahwa Muhammad Saw hanyalah sebagai cincin para nabi dan Rasul saja bukan akhir para Nabi dan Rasul, hal inilah yang membuat konflik ideologis antara mayoritas kaum muslimin dengan jamaah Ahmadiyah yang notabene muslim juga.
Contoh yang lain adalah الدبّابة yang dulu berarti “binatang merayap” seperti dalam Qs Hud: 6 وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ ( Dan tidak ada binatang melatapun di muka bumi) tetapi kata tersebut sekarang sudah menunjukan makna baru yaitu “kendaraan lapis baja (tank)”.
Contoh yang lain adalah kata قوم (Qoum) memiliki dua makna dasar yaitu kelompok manusia dan berdiri tegak atau tekad. Al-Raghib al-Asfighani menjelaskan kata qoum seakar dengan kata قام يقوم قياما yang berarti berdiri. Kata ini juga berarti memelihara sesuatu agar tetap ada, misalnya قيام الصلاح (menjaga keharmonisan).
Secara leksikal, قوم adalah kelompok manusia yang dihimpun oleh suatu hubungan atau ikatan yang mereka tegakan di tempat قوم tersebut berada. Term قوم (Qoum) berkonotasi sebagai kelompok manusia yang mengurusi suatu urusan tertentu, lebih konkret lagi kata ini menunjukan kelompok manusia yang bangkit berperang membela sesuatu. Pada awalnya digunakan untuk kelompok laki-laki dengan merujuk penggunaaannya dalam Qs Al-Hujurat : 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ .....(الحجرات:11).
Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya

Dalam ayat ini secara tegas menyebut bahwa perempuan di luar kata qoum. Akan tetapi dalam penggunaan pada umumnya kata tersebut menunjukan kelompok manusia yang berada di suatu tempat baik laki-laki ataupun perempuan. Kata qoum dalm Alqur'an terulang sebanayak 383 kali. Jumlah ini lebih banyak dengan term lain yang menunjukan arti masyarakat. Dibandingkan dengan umat kata Qoum lebih banyak dipakai dalam Alqur'an.
Kata qoum menunjuk arti secara umum tanpa membedakan jenis kelamin dan mempunyai pengertian yang netral tidak mengandung konotasi positif atau negatif. Contohnya Qs Ar-Ra'ad: 11 إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ (sesungguhnya Allah tidak akan melanggar nasih suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang merubahnya)
Pengetahuan yang dimiliki manusia tentang sesuatu, memiliki andil besar dalam membentuk makna yang ada di dalam benaknya. Ketika pengetahuannya berubah, maka makna yang ada dalam benaknya pun ikut berubah. Misalnya, kata الذرّة (dzarrah) oleh para ilmuan terdahulu dianggap sebagai benda terkecil yang oleh para filosof Yunani disebut sebagai atom, yaitu benda terkecil yang tidak bisa terbagi lagi. Pernyataan Qs Yunus: 61 juga menyebutkan hal tersebut
وَمَا يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ (61)
Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Akan tetapi, para ilmuan fisika di zaman modern mampu menyingkap bahwa ada benda-benda yang lebih kecil daripada dzarrah, yaitu: elektron, proton dan neutron.
Kata شريعة (Syariat) pada awalnya bermakna “membuka jalan menuju air untuk memberi minum binatang ternak”. Oleh karena itu, tempat-tempat yang dilewati oleh binatang ternak menuju mata air dinamakan شريعة, شرعة dan مشرعة.
Dalam Alquran شريعة bermakna agama yang dibahasakan dengan شرعة (syir’ah) dalam yang mempunyai pengertian minhaj dan At-Thariq, As-Syirat atau jalan yang dilalui manusia. Dengan demikian maka agama adalah merupakan syariat dan kesyirikan juga merupakan syariat. Maka pada hakekatnya agama asalnya satu, meskipun ada perbedaan pemahaman itu sesuatu yang sangat wajar. Seharusnya penyelesaian perbedaan tersebut tidak dilakukan dengan peperangan dan pertumpahan darah, karena Yahudi diharuskan mengikuti Taurat, Nasrani mengikuti Injil, tradisi-tradisi adalah syariat. Seperti dalam Qs Al-Maidah: 48 لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا (48) (Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang).
4.1.3 Faktor Ilmu dan Teknologi
Akselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi, memberikan andil yang cukup besar dalam mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan serta perkembangan teknologi mempunyai hubungan kausalitas. Melalui kreatifitas manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang, dan melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini pula masyarakat juga berkembang.
Perkembangan yang terjadi dalam masyarakat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bermuara pada perubahan atau perkembangan cara pandang masyarakat terhadap berbagai fenomena yang ada. Di antara implikasi yang muncul akibat perubahan cara pandang ini adalah perubahan budaya. Hal ini beralasan mengingat budaya itu sendiri merupakan wujud dari produk cipta, karsa, dan rasa manusia
lmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berkembang begitu cepat dan menyentuh hampir seluruh kehidupan masyarakat. Perkembangan IPTEK ini berimplikasi pada perkembangan bahasa, khususnya perkembangan kosa kata yang mengacu pada benda-benda dari produk IPTEK tersebut. Keterkaitan erat antara perkembangan IPTEK dan bahasa ini karena bahasa itu sendiri sebagai media untuk mengkonsepsikan setiap peristiwa, benda, dan objek-objek lainnya. Dengan ungkapan lain, fungsi bahasa adalah sebagai alat ekspresi dan komunikasi.
Ada beberapa cara yang berkaitan dengan pengembangan bahasa, khususnya pengembangan kata karena akibat perkembangan IPTEK. Pertama bisa berupa serapan dari bahasa penutur pengembang IPTEK, kedua kemungkinan (meskipun kemungkinan kedua ini kecil) membuat padanan kata baru, dan ketiga dengan cara menggunakan kata yang sudah ada dengan memodifikasi atau mengubah makna asalnya. Dalam konteks ini, cara ketiga inilah (perubahan makna) yang menjadi bahasan dalam tulisan ini.
Dalam bahasa Indonesia, Chaer memberikan contoh perubahan makna akibat perkembangan IPTEK pada kata berlayar. Kata ini pada awalnya bermakna ‘perjalanan di laut (di air) dengan menggunakan perahu atau kapal yang digerakkan dengan tenaga layar’. Walaupun sekarang kapal-kapal besar tidak lagi menggunakan layar, tetapi sudah menggunakan tenaga mesin, bahkan juga menggunakan tenaga nuklir, tetapi kata berlayar masih digunakan.
Fenomena perubahan makna akibat perkembangan IPTEK dalam bahasa Arab dapat kita lihat pada kata هاتف, سيارة, حاسوب, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya, perhatikan penggunaan ketiga kata sebagai berikut.
Contoh A
1- فَدَخَلَ عَليَّ مَلَكانِ مَهِيْبَانِ فَطاَرَ عَقْلِيْ وارْتَعَدَتْ مَفَاصِلِي مِنْ هَيْبَتِهِمَا وأخَذانِي وأجْلَسَانِي وَأرادا أنْ يَسْألاَنِي فَسَمِعْتُ نِدَاءً مِنَ الْهَاتِفِ اُتْرُكَا عَبْدِي وَلاَتُخَوِّفَاهُ فَإِنِّي رَحِمْتُهُ ( المواعظ العصفورية: 2).َ
2- قال قائل منهم لاتقتلوه يوسف فألقوه في غيبت الجب يلتقته بعض السيارة إن كنتم فاعلين (يوسف: 10).
3- وجآءت سيارة فأرسلوا واردهم فأدلى دلوه، قال يبشرى هذا غلم وأسروه بضاعة، والله عليم بما يعملون. (يوسف: 19
4- فسوف يحاسب حسابا يسيرا (الإنشقاق: 8).
1. Aku didatangi oleh dua malaikat yang berwibawa. Aku ketakutan dan gemetar. Aku dipegang dan didudukkan. Mereka akan menanyaiku. Tiba-tiba aku mendengar panggilan yang tidak jelas sumbernya (suara tanpa rupa), “hendaklah kamu berdua (Malaikat Munkar dan Nakir) meninggalkannya (Umar bin Khattab), janganlah kamu berdua menakut-nakutinya, karena Aku mengasihinya.
2. Seseorang di antara mereka berkata: "Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat."
3. Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya dia berkata: "Oh; kabar gembira, ini seorang anak muda!" Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan (Yusuf, 19)
4. Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.

Pernyataan di atas bisa dibandingkan dengan pernyataan berikut yang menunjukan bahwa karean perkembangn ilmu pengetahuan dan teknologi, bisa jadi makna mengalami perubahan bahkan berbeda sama sekali dengan makna dasarnya.

Contoh B
1- لا علاقة بين الهواتف (جم الهاتف) المحمولة والسرطان
(http:/news:bbc.co.uk/hi/sci_tech/newsid.)
2- تُوِّجَ الأسْبَانِي فِرْنَانْدُو ألَنْزُو الاحدَ الماَضِي فِي البَرَازِيل كَأَصْغر بَطَلٍ سِنًّا في الفِئَةِ الأولى لِسِبَاقِ السّيّارات
3- اشترى لي أبي الحاسوب.
1. Tidak ada korelasi antara telpon seluler (Hp) dengan penyakit kanker.
2. Firnando Alonso berkebangsaan Spanyol pada hari Ahad yang lalu di Brazil dinobatkan sebagi pemenang termudah pada kelompok pertama untuk lomba reli mobil.
3. Ayahku membelikan saya computer.
Kata الهاتف, السيارة, dan الحاسوب pada contoh di atas mengalami perubahan makna. Perubahan makna ini dipengaruhi oleh perkembangan IPTEK. Kata الهاتف pada contoh A (1) diartikan suara tanpa rupa, yakni petutur mendengar suara tetapi tidak diketahui wujud konkret dari sang penuturnya. Dengan ditemukan alat komunikasi yang baru, kata الهاتف berubah maknanya menjadi telepon atau hand phone (Hp) sebagaimana pada contoh B (1).
Kata سيارة pada ayat 10 dan 19 surah Yusuf di atas (contoh A 2 dan 3) berbeda dengan makna yang digunakan dewasa ini. Dalam kedua ayat tersebut kata سيارة berarti sekelompok musafir, yang dimaksud dengan kata سيارة pada ayat 19 di atas adalah sekelompok musafir yang melewati jalan. Yang dimaksud jalan di sini adalah suatu tempat Yusuf dibuang oleh saudara-saudaranya (kecuali Benyamin) ke sumur. Menurut Ibnu Abbas sebagaimana yang dikutip oleh Ash-Shabuni, II, 1976, yang dimaksud dengan جاءت سيارة adalah sekelompok kaum yang melakukan perjalanan dari Madyan ke Mesir; tiba-tiba di tengah jalan mereka tersesat dan bingung sehingga akhirnya mereka tiba di suatu jalan yang ada sumurnya tempat Yusuf dibuang dan sumur tersebut jauh dari keramaian. Menurut Shihab (2004), kata سيارة berasal dari kata سار yang berarti berjalan. Kata ini pada mulanya dipahami dalam arti kelompok yang banyak berjalan. Kata ini merupakan salah satu contoh dari pengembangan makna kata. Dikarenakan oleh perkembangan teknologi transportasi, kata ini sekarang berarti ‘mobil’.
Hal yang sama juga terjadi pada kata الحاسوب . Kata atau frase ini berasal dari kata حسب-يحسب- حسابا. Pada contoh contoh A (4) berarti diperiksa atau dihitung dan kata الحاسوب berarti alat penghitung. Kata ini berubah makna (dimodifikasi maknanya) menjadi ‘komputer’ seiring dengan perkembangan teknologi informasi.
Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menyebabkan perubahan makna, misalnya adalah kata نفّاثات yang diartikan “wanita-wanita tukang sihir” dalam Qs al-Falak: 4 وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (Dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul). Tetapi dalam rubrik-rubrik teknologi di surat-surat kabar berbahasa Arab sekarang ini berarti “pesawat jet”.
Kata البرق dalam Qs Al-Baqarah: 20, Ar-Ra’d: 12 dan Ar-Rum: 24 yang berarti dahulu bermakna“kilat” sekarang diartikan sebagai telegraf dalam pemakaian di bahasa-bahasa kontemporer. Kata البريد yang dahulu bermakna “burung yang digunakan untuk mengirim kabar” kini dipakai untuk arti “pos” seperti إدارة البريد.

4.1.4 Faktor Sosial Budaya (Social Culture Causes)
Karakteristik masyarakat adalah adanya perubahan dari satu waktu ke waktu yang lain. Sebuah komunitas masyarakat bisa bergabung dengan komunitas lainnya melalui berbagai cara, misalnya hubungan ekonomi, politik, perang, bencana alam, migrasi, budaya dan sebagainya. Asimilasi antar berbagai individu maupun masyarakat bisa merubah cara pandang dan pemikiran. Bahkan, perubahan itu bisa mempengaruhi agama, madzhab dan falsafah hidup mereka.
Kosakata bahasa Arab banyak mengalami perubahan sejak munculnya agama Islam. Beberapa memiliki terminologi baru dalam pandangan Islam. Misalnya kata “Kafir” asal katanya mempunyai makna dalam ranah pertanian الفلاح الذى يستر البذور ويغطيها yaitu petani yang menutupi biji-bijian dan menimbunnya dengan tanah. Menurut Abu Bakar arrazi dalam kitab Mukhtar Asshohhah bermakna “menutup biji-bijian dengan tanah” , firman Allah swt :
مَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا (الحديد :20)
Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur

Kafir juga bermakna “malam yang gelap, kegelapan, laut, lembah yang luas, awan gelap, sungai besar, tempat yang terpencil, tanah datar, tumbuh-tumbuhan, mayang kurma, baju besi, yang tersembunyi, dan kuda yang hitam legam.
‘Kafir’ atau ‘kufur’ berasal dari deriviasi ‘kafara’ yang artinya ‘tertutup’ (kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘cover’ artinya penutup. Sedangkan menurut ahli ilmu falak kafir bermakna “Malam yang gelap menutupi dengan kegelapannya segala sesuatu.
Dalam bahasa agama ‘Kafir’ juga bermakna adalah mereka yang masih yang tertutup dari ‘Al-Haqq’ (kebenaran mutlak). Kafir bukan bermakna orang yang tidak beragama Islam. Sering sekali orang Islam menyebut orang yang tidak beragama Islam sebagai ‘orang kafir’. Itulah ajaran yang sering diterima oleh sebagian besar kaum muslimin semenjak kecil. Dan makna yang tidak tepat ini turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi, pada akhirnya diterima dengan taken for granted saja, dan tidak memeriksa lagi kebenarannya.
Definisi Qur’aniyyah dari kata ‘orang kafir’, bisa kita temukan di Qs Al-Kahfi ayat 100 dan 101.
وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِلْكَافِرِينَ عَرْضًا الَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِي غِطَاءٍ عَنْ ذِكْرِي وَكَانُوا لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا (الكهف: 100- 101)
Dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan jelas, yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ /memperhatikan terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”
Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa definisi kafir lebih identik kepada kepada orang-orang yang tidak mau melihat dan mendengar semua karunia Allah Swt dan peringatan-peringatanNya sehingga melupakan anugerah diberikan oleh Allah Swt bukan semataa-mata karena perbedaan agama sebagai orang kafir.
Contoh lainnya adalah kata عقيلة dalam pengertian bahasa Arab kontemporer sebagai orang yang menduduki struktur sosial tinggi padanan dari kata زوجة dengan tanpa mengganti makna satu dengan lainnya dalam konteks budaya akan menafikan makna sinonimnya yaitu sama-sama mempunyai arti “istri”. Hanya saja عقيلةditujukan kepada komunitas tertentu dalam strata sosial lebih tinggi seperti penyebutan kepada istri Presiden, Gubernur dan lain sebagainya seperti عقيلة الرئيس وعقيلة المحافظ. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan berbeda halnya dalam penyebutan kepada orang yang strata sosialnya lebih rendah atau kepada masyarakat umum cukup hanya mengatakan زوجة saja.
Padanan dari kata عقيلة adalah بعلة tetapi kata بعلة sangat jarang dipakai dalam bahasa komunikasi sehari-hari bahkan hampir tidak pernah sama sekali, kata بعلة hanya ada dalam Qs An-Nur: 31 sebagai berikut;\
َ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِن (النور: 31)
Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka.

Perubahan makna berdasarkan tingkatan sosial tersebut disebabkan karena pengaruh sosial budaya masyarakat Arab sebagai masyarakat yang menganut sistem Kapitalisme Feodalisme yang memprioritaskan kaum bangsawan sebagai orang yang mempunyai kedudukan di masyarakat dan mempunyai kapital yang cukup untuk menguasai roda perekonomian. Kapitalis biasanya menerapkan sistem open social stratification yang memungkinkan akan adanya dinamika kelas-kelas sosial yang ditandai oleh kepemilikan modal oleh seseorang atau segolongan masyarakat. Di samping mereka mendasarkan struktur masyarakatnya pada kepemilikan modal yang bersifat open social stratification, juga menerapkan landasan keturunan tinggi sebagai dasar lain yang lebih cenderung bercirikan closed social stritification.
Gejala tingkatan bahasa Arab yang didasarkan oleh kelas sosial dalam bahasa tutur sehari-hari dan ketika berada dalam acara-acara formal seremonial, seperti pernikahan, pengajian, pengajaran, dan ragam komunikasi lainnya. Di antara mereka ada semacam kesepakatan untuk membedakan adanya dua variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Pertama adalah variasi bahasa tinggi, seperti bahasa pengantar pendidikan, khotbah, surat menyurat resmi, dan buku pelajaran. Kedua adalah variasi bahasa rendah yang digunakan dalam situasi tidak formal seperti di rumah, warung, di jalan, dalam surat-surat pribadi, dan catatan untuk diri sendiri.
Bentuk tutur mereka secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni bentuk hormat dan bentuk biasa. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya dua macam bentuk tingkat tutur itu ternyata bermacam-macam dan berbeda antara masyarakat Arab dan masyarakat lainnya. Ada anggota masyarakat yang dihormati atau tidak dihormati karena bentuk dan kondisi tubuhnya, kekuatan ekonomi, status sosialnya, kekuatan dan pengaruh politisnya, alur kekerabatan, usia, jenis kelamin, kondisi psikis, dan lain sebagainya.
Dalam bahasa Indonesia, terdapat pula kata-kata tertentu untuk menunjuk rasa hormat seperti bersabda, menganugerahi. Dalam bahasa Jawa juga ada, misalnya dengan pronomina orang pertama terdapat kata aku, kula, dalem, kawula; dengan pronomina orang kedua terdapat ungkapan kowe, sampeyan, panjenengan, paduka. Terdapat juga bentuk-bentuk dalam kata benda dalam bahasa Jawa yang menunjukan perbedaan rasa hormat, misalnya omah, griya, dalem yang semuanya bermakna rumah. Dengan kata kerja, misalnya terdapat kata turu, tilem, sare yang maknanya adalah tidur. Dengan kata sifat, misalnya terdapat kata lara, sakit, gerah yang maknanya sakit.
Perubahan makna dalam bahasa Arab karena perubahan sosial-budaya banyak terjadi pada istilah-istilah keagamaan, misalnya الصلاة والحج والزكاة والوضوء والتيمم. Kata الصلاة ‘salat’ semula bukanlah istilah islami, tetapi suatu istilah atau kata yang digunakan oleh orang-orang Arab sebelum Islam datang. Kata الصلاة ini pada awalnya berarti do’a dan istighfar.
Di dalam al-Qur’an, surah At-taubah, ayat 103 kata الصلاة berarti do’a sebagai berikut.

وصل عليهم إن صلاتك سكن لهم (التوبة: 103)
Dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.

Dalam surah Al-Haj, ayat 40 berikut ini, kata صلوات bentuk jamak dari صلاة berarti rumah-rumah ibadah orang Yahudi. Dengan bahasa yang lain tetapi maksudnya sama, Ash-Shabuni (1976) memaknai kata صلوات menjadi كنائس اليهود (sinagognya kaum Yahudi). Dengan demikian, dengan konteks sosial yang berbeda, kata yang sama dapat berbeda maknanya.
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (الحج:40)
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Setelah Islam mensyariatkan umat Islam umtuk melakukan shalat sebagaimana yang kita pahami sekarang ini, kata الصلاة yang semula berarti do’a, istighfar, dan rumah-rumah ibadah orang Yahudi, berubah mejadi suatu konsep peribadatan ritual yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Oleh karena itu sekarang kita kenal shalat maghrib, shalat isya’, shalat subuh, shalat dzuhur, shalat asar, dan lain-lainnya.
Hal yang sama juga terjadi kata الصوم yang semula berarti menahan dan meninggalkan sesuatu الإمساك عن الشيئ والترك dalam konteks sosial-keagamaan menjadi الإمساك عن الشهوتين yang punya arti menahan diri dari dua syahwat. Dalam al-Qur’an, surah Maryam ayat 26, kata الصوم dimaknai meninggalkan berbicara, atau oleh Ash-Shabuni (1976) kata صوما berarti السكوت والصمت (diam tidak berbicara).
فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا (مريم:26)
Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
Demikian pula, kata الحج semula berarti “menyengaja sesuatu” atau القصد, selanjutnya makna kata ini berubah menjadi suatu bentuk ibadah, yakni ‘bertujuan mengunjungi ka’bah untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan syarat-syarat tertentu. Demikian pula kata الوضوء berarti membersihkan dengan air (وضأه بالماء: نظفه وغسله). Selanjutnya karena konteks sosial keagamaan, kata الوضوء menjadi ‘mengambil air untuk shalat dengan cara-cara tertentu.

4.1.5 Faktor Psikologis (psychological causes)
Beberapa orang Arab mengungkapkan perasaan dalam berbagai macam bentuk seperti غزل (Ghazal) dan هجاء (Haja’) serta مدح (madh) dan رثاء (Ritsa), seperti halnya dalam Alquranul karim perbedaan kata antara غضب dan غيظ yang mempunyai arti kata sama “marah/murka”, tetapi dalam penggunaannya kedua kata tersebut maknanya berbeda tergantung pada konteks psikis orang yang menyampaikannya. Seperti
وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الْأَلْوَاحَ وَفِي نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ (الأعراف:154)
Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.
تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ (الملك:8)
Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?"
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (آل عمران: 134)
Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

غضب (Ghadhab) itu perasaan marah dari orang yang lebih kecil strata sosialnya kepada orang yang lebih besar adapun غيظ merupakan perasaan marah dari orang yang lebih besar status sosialnya kepada orang yang lebih kecil. Sebagaimana perbedaan antara kata love dan like dalam bahasa Inggris dan seperti halnya perbedaan antara kata يكره dan يبغض dalam verba bahasa arab walaupun keduanya mempunyai makna yang sama.
Sikap psikologis yang dimiliki manusia, tidak bisa lepas dari munculnya makna asosiasi, misalnya kata اليمين أصحاب yang berarti dalam Qs: Al-Waqi’ah: 27 yang dimaknai sebagai “golongan kanan” sebagai “golongan orang yang akan masuk surga” sedangkan أصحاب الشمال atau أصحاب المشأمة yang dimaknai sebagai “golongan kiri” dimaknai sebagai “golongan yang akan masuk neraka”.
وَأَصْحَابُ الْيَمِينِ مَا أَصْحَابُ الْيَمِينِ (الواقعة:27) وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ (الواقعة:41)
فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ (8) وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ (الواقعة: 9)

Sedangkan kata اليمين yang berarti ‘kanan’ dianalogikan dengan makna “tangan orang yang mudah beramal baik”, sedangkan kata الشمال yang berarti “kiri” dianalogikan dengan makna “orang yang kikir dan tidak mau beramal baik”. Sedangkan مشأمة dianggap sebagai sesuatu yang rendah, hina, kotor, nista, pertanda buruk, dan pesimistik.
4.1.6 Pengaruh Bahasa Asing
Keberadaan bahasa asing sangat berpengaruh besar terhadap makna sebuah bahasa. Di era globalisasi sekarang ini sangat rentan terjadi penyerapan bahasa asing ke bahasa pribumi termasuk juga serapan bahasa asing ke bahasa Arab khususnya dalam Alquran. Seperti halnya kata الصحابة adalah sahabat Nabi yang pernah bertemu Nabi dan beriman kepadanya. Dalam bahasa Indonesia kata sahabat bermakna “kawan”, ‘teman’, dan rekan. Seperti kata Ummul Qura dalam Qs As-Syura’: 7 yang merupakan terjemahan harfiah dari bahasa Yunani yaitu ‘metropolis’.
لِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَتُنْذِرَ يَوْمَ الْجَمْعِ لَا رَيْبَ فِيهِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ (الشورى:7)
Kata أمّة dalam Alqur'an yang mempunyai arti rakyat atau masyarakat masih ada hubungan dengan kata أمّ merupakan pinjaman dari bahasa Ibrani atau aram, seperti Qs Al-Baqarah: 134 تِلْكَ أُمَّةٌ (itulah masyarakat).

Kata صراط المستقيم (Shiratal mustakim) dalam Qs Al-Fatihah, kata shirat berasal dari bahasa Latin yaitu ‘strata’ yang kemudian menjadi asal kata bahasa Inggris street.
Kata قرطاس dalam Qs Al-An’am: 7 merupakan kata serapan dari bahasa asing yaitu berasal dari kata “charta” dalam bahasa Yunani dalam bahasa Abyssinia adalah kartas.
وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ لَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ (الأنعام:7)
Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata."
Sedangkan kata طه dalam Qs Taha: 1 punya arti tetap ‘thoha’, اليمّ dalam Qs Thaha: 39 punya arti ‘sungai’, طور dalam Qs Al-Baqarah: 63 punya arti ‘bukit Thursina’, dan الربانيون dalam Qs Al-Maidah mempunyai arti ‘orang-orang alim’ semuanya adalah bahasa Suryaniyah. Sebagaimana terlihat dalam beberapa ayat berikut:
انِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ فَلْيُلْقِهِ الْيَمُّ بِالسَّاحِلِ يَأْخُذْهُ عَدُوٌّ لِي وَعَدُوٌّ لَهُ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي (طه: 39)
Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ (البقرة: 63)
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ (المائدة:63)
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.
Kata مشكاة (misykat) yang terdapat dalam Qs An-Nur: 35 mempunyai arti ‘lobang yang tak tembus’ serta كفلين (kiflaini) dalam Qs Al-Hadid: 28 yang berarti ‘dua bagian’ berasal dari serapan bahasa Romawi.
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاة (النور: 35)
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah sepeti sebuah lubang yang tak tembus
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآَمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ (الحديد: 28)
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian
Sedangkan kata فردوس (firdaus) yang terdapat dalam Qs al-Kahfi: 10 dan Al-Mukminun: 11 berasal dari serapan bahasa Habasyah atau Ethiopia sekarang ini. Para ahli Nahwu (nuhat) telah bersepakat bahwa di dalam Al-Quran ada begitu banyak lafadz yang mamnu' minas-sharf (tidak bisa dirubah morfemnya), sebab karena merupakan isim al-'alam (nama) atau karena kenon-araban ('ajam), seperti kata Ibrahim, Musa, Ishaq, Ismail, Jibril, Mekkah, Yusuf, Yunus dan lain sebagainya, semua nama yang merupakan bukan dari nama-nama berbahasa Arab.
4.1.7 Faktor Perbedaan Bidang Pemakaian
Suatu bidang kajian, keilmuan, atau kegiatan tertentu memiliki kekhasan dalam penggunaan kosa kata. Istilah-istilah seperti striker, gelandang kanan, penjaga gawang, tendangan pojok, tendangan penalti, pemain belakang, menghadang bola, dan lini tengah merupakan kosa kata yang lazim digunakan dalam olahraga sepak bola. Di bidang Fisika kita mengenal istilah Vektor, skalar, hukum Newton, massa, gravitasi, panumbra, dan lain-lain.
Kosa kata yang lazim digunakan di bidang tertentu juga dapat digunakan dalam bidang lain yang bersifat umum. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘menggarap’ yang berasal dari bidang pertanian dengan segala macam derivasinya seperti pada frase menggarap sawah, tanah garapan, dan petani penggarap, kini banyak digunakan dalam bidang-bidang lain dengan makna ‘mengerjakan’ misalnya menggarap skripsi, menggarap usul para anggota, menggarap generasi muda, dan menggarap naskah drama.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari gejala ini adalah bahwa kata yang sama memiliki arti atau makna berbeda apabila digunakan dalam bidang yang berbeda pula. Dengan ungkapan yang berbeda, Pateda menyatakan bahwa lingkungan masyarakat menyebabkan perubahan makna.
Contoh
1- والفرض هو الإجابة المحتملة عن سؤال الدراسة.
2- الصلات من أفضل الفرض الذي أمر بلزومه.
3- د. محمد اسماعيل رئيس التحرير للمجلة "المجتمع".
4- أقيم المؤتمر العالي لحزب التحرير في اغوسطس ‏2005‏‏.
5- وماكان لمؤمن ان يقتل مؤمنا إلا خطئا, ومن قتل مؤمنا خطئا فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة الى اهله (النساء: 92).


1. Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian.
2. Ibadah salat merupakan kewajiban paling utama yang diperintah untuk dilaksanakan.
3. Muhammad Ismail adalah pemimpin redaksi majalah “Al-mujtama’”.
4. Komperensi tingkat tinggi untuk Partai/kelompok Pembebasan (Hizbut Tahrir) telah dilakasanakan pada bulan Agustus 2005.
5. Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (Qur’an, surah Annisa’ ayat 92).
Sama-sama menggunakan kata الفرض pada contoh tetapi maknanya berbeda, yang pertama pada contoh (1) bermakna ‘hipotesis’ dan contoh yang kedua bermakna ‘kewajiban’, karena kata ini berada pada bidang keagamaan, khususnya bidang Ilmu Fiqh. Perubahan makna dari kewajiban ke hipotesis atau sebaliknya disebabkan oleh penggunaan kata tersebut pada kekhasan bidang atau keilmuan.
Demikian pula, kata التحرير pada contoh (3) dan (4) juga memiliki makna yang berbeda, meskipun keduanya sama. Kata التحرير pada (3) bersentuhan dengan wilayah jurnalistik, sehingga makna yang muncul adalah redaksi. Jadi رئيس التحرير berarti ‘Pemimpin Redaksi’. Sementara itu, Kata التحرير pada (4) bersentuhan dengan wilayah politik, sehingga kata tersebut berarti ‘pembebasan’. Jadi حزب التحرير berarti ‘Partai Pembebasan’. Hal yang sama juga terjadi pada contoh (5). Kata التحرير pada contoh (5) ini berkaitan dengan hukuman bagi orang yang melakukan pembunuhan (masalah kriminal) dan kata التحرير juga berarti membebaskan (membebaskan budak muslimah).
4.2 Bentuk-bentuk Perubahan Makna dalam Alquran
Perubahan makna kosakata bahasa menurut Mansur Pateda, dapat berwujud penambahan dan pengurangan. Penambahan dan pengurangan yang terjadi tidak hanya dari segi kuantitas kata, tetapi juga dari segi kualitasnya.
Bentuk perubahan makna, menurut Samsuri, terjadi dalam bentuk penambahan, pengurangan dan perubahan secara total.
4.2.1 Perluasan Makna (تعميم)
Perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah ‘makna’ tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Umpamanya kata saudara yang pada mulanya hanya bermakna ‘seperut’ atau ‘sekandungan’. Kemudian, maknanya berkembang menjadi ‘siapa saja yang sepetalian darah’. Akibatnya, anak paman pun disebut saudara. Lebih jauh lagi selanjutnya siapapun yang masih mempunyai kesamaan asal usul disebut juga saudara. Malah kini siapa pun disebut saudara. Perluasan makna yang terjadi pada saudara terjadi juga pada kata-kata kekerabatan lain seperti kakak, ibu, adik dan bapak.
Makna yang mengalami generalisasi adalah makna yang tadinya mempunyai arti khusus kemudian meluas sehingga melingkupi makna yang lebih luas lagi.
Misalnya adalah kata أمّة (‘Ummah’) bentuk jamak atau pluralnya adalah أمم umamun. Kata tersebut berakar dari huruf hamzah dan mim ganda, yang tadinya hanya bermakna ‘asal’, ‘tempat kembali’, dan ‘kelompok’. Dari kata tersebut muncul kata أمّ (umm) (ibu) dan إمام imam (pemimpin), terdapat hubungan makna karena keduanya menjadi teladan dan tumpuan pandangan masyarakat. Kata أمّة ummah mengandung pengertian "kelompok manusia yang terhimpun karena didorong oleh ikatan; a) persamaan sifat, kepentingan, dan cita-cita, b) agama, c) wilayah tertentu dan d) waktu tertentu.
Kata أمّة digunakan dalam Alqur'an berjumlah 64 kali, 51 kali dalam bentuk tunggal dan 13 kali dalam bentuk jamak. Penggunaanyaa sangat beragan terutama dalam ayat-ayat makiyah. Kata امّة atau أمم mengalami perluasan atau generalisasi makna dengan berbagai makna sebagai berikut:
a. Binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ (الأنعام:38)
Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan

b. Makhluk dari bangsa jin dan manusia. Al-a'raf: 38
قَالَ ادْخُلُوا فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ فِي النَّارِ (الأعراف:38)
Allah berfirman: "Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu.

c. Ummah juga berarti waktu yang terekam dalam Hud: 8.
وَلَئِنْ أَخَّرْنَا عَنْهُمُ الْعَذَابَ إِلَى أُمَّةٍ مَعْدُودَةٍ لَيَقُولُنَّ مَا يَحْبِسُهُ أَلَا يَوْمَ يَأْتِيهِمْ لَيْسَ مَصْرُوفًا عَنْهُمْ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ (هود:8)
Dan sesungguhnya jika Kami undurkan azab dari mereka sampai kepada suatu waktu yang ditentukan. niscaya mereka akan berkata: "Apakah yang menghalanginya?" lngatlah, diwaktu azab itu datang kepada mereka tidaklah dapat dipalingkan dari mereka dan mereka diliputi oleh azab yang dahulunya mereka selalu memperolok-olokkannya.

d. Ummah dalam arti imam atau pemimpin
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (النحل:120)
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),
e. Agama
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ (الأنبياء:92)
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.
وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ (المؤمنون:52)
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepadaku.

Kata yang mengalami perluasan makna berikutnya adalah شعب (Sya'b) secara Bentuk jamaknya adalah شعوب (syu'ub). Secara khusus mengandung arti suku besar yang bernasab pada satu nenek moyang tertentu. Tingkat keturunan dalam bahasa Arab ada tujuh, (1) Sya'b, (2) Qabilah, (3) Imarah, (4) Bat, (5) Fakh, (6) fasilah dan (7) Asyirah.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات:13)
قبيلة Qobilah memiliki pengertian muwajihat al-syai li al-syai "sesuatu berhadapan dengan sesuatu yang lain. Secara bahasa Qabilah adalah kelompok manusia yang berasal dari satu keturunan. Dalam kamus E. Lane kata tersebut diartikan sebagai ‘a body of Men from one father’ "kumpulan orang-orang yang berasal dari satu ayah.
Kata قبيل (Qobil) diartikan ‘Pengikut-pengikut’
يَا بَنِي آَدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآَتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (الأعراف:27)
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.

Kata خليفة khalifah juga mengalami perluasan makna. Kata ini pertama kali muncul di Arabia pra Islam, dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 M disitu kata Khalifah tampaknya menunjuk kepada semacam raja muda atau letnan sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain. Kata Khalifah muncul dua kali dalam Alqur’an yang pertama mengacu kepada Adam (Al-Baqarah : 28) dan yang kedua mengacu kepada Daud (Shad: 26) yang kedua ini muncul dalam konteks membawa kesan yang kuat mengenai kedaulatan.
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَق (ص:38)
Kami telah menciptakan khalifa di muka bumi, kata Allah kepada Daud “hakimilah manusia secara adil.
Kata Khalifah muncul dalam bentuk pluralnya yakni خلفاء (khulafa) dan خلائف (khalaif). Dapat bermakna para pengganti, para ahli waris, para pemilik dan raja-raja muda.
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً (الأعراف:69)
Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu).
فَكَذَّبُوهُ فَنَجَّيْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ فِي الْفُلْكِ وَجَعَلْنَاهُمْ خَلَائِفَ (يونس:73)
Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan
Kata الضلال mempunyai makna secara khusus العدول من الحق والطريق (tersesat dari jalan kebenaran) kemudian kata ضلال mengalamani perluasan makna, disebutkan dalam alqur’an dalam beberapa makna, yaitu:
1. Sesat dari jalan yang benar, Qs Dhuha:7
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (الضحى:7) Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang tersesat, lalu Dia memberikan petunjuk.
2. Lupa, Qs As-Syu’ara: قَالَ فَعَلْتُهَا إِذًا وَأَنَا مِنَ الضَّالِّينَ (20)
(Berkata Musa: "Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang lupa.)
3. Rusak dan hancur
وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُمْ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ (السجدة:10)
Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?" Bahkan mereka ingkar akan menemui Tuhannya.

Kata nomina yang mengalami perluasan makna diantaranya adalah kata rajulun رَجُلٌ berasal dari kata derivasinya, seperti rajala (mengikat), rajila (berjalan kaki), arrijl (telapak kaki), arrijlah (tumbuh-tumbuhan) dan rajulun (laki-laki).
Dalam kamus Lisanul Arab diartikan sebagai laki-laki, lawan perempuan dari jenis manusia. Kata Rajul umumnya digunakan untuk laki-laki yang sudah dewasa, sesudah anak-anak.
Kata rajul diulang sebanyak 55 kali dalam Alquran, kata Arrajul mempunyai berbagai macam makna yaitu bermakna laki-laki Albaqarah: 282
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى (البقرة:282)
Kata rijalikum pada ayat tersebut ditekankan kepada laki-laki pada aspek gendernya bukan hanya jenis kelamin laki-laki. Rijal diartikan sebagai laki-laki muslim yang akil baligh dan merdeka. Jadi semua yang masuk kategori rajul termasuk dzakar. Tetapi tidak semua dzakar masuk dalam kategori dzakar. Kata rajul menuntut sejumlah kriteria tertentu bukan mengacu kepada jenis kelamin tetapi kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat-sifat kejantanan (masculinity). Oleh karena itu, tradisi bahasa Arab menyebut perempuan yang memiliki sifat-sifat kejantanan dengan rijlah
رجلة للمرأة إذا كانت متشبّهة بالرجل فى بعض أحوالها
Faktanya tidak semua laki-laki mempunyai kapasitas yang sama seperti anak laki-laki di bawah umur, laki-laki hamba sahaya, dan laki-laki tidak normal akalnya.
Albaqarah: 228
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (228)
Kata رجال dalam ayat ini ilah laki-laki yang mempunyai kapasitas tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan. Tuhan tidak mengatakan للذكر بالمعروف عليهنّ درجة, karena jika demikian maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan.
An-Nisa: 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ (النساء: 34)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka
Laki-laki menjadi pelindung bagi perempuan ialah laki-laki yang mempunyai keutamaan. Sebab-sebab turunnya ayat ini dihubungkan dengan tanggungjawab laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Dalam ranah sosial ayat ini tidak tepat dijadikan alasan menolak kepemimpinan perempuan di dalam masyarakat. Muhammad Abduh dalam kitab manar-nya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan karena ayat ini tidak menggunakan kata ما فضلهم بهنّ atau بتفضيلهنّ عليهنّ (oleh karena Allah telah memberikan kelebihan kepada laki-laki) tetapi menggunakan kata بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ.


a. Kata رجال Rijalun dalam arti orang, baik laki-laki maupun perempuan, seperti:
Qs al-A’raf: 46
وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ وَعَلَى الْأَعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلًّا بِسِيمَاهُمْ وَنَادَوْا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ أَنْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُونَ (الأعراف:46)
Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas A'raaf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga: "Salaamun 'alaikum. Mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya).
Qs Al-ahzab: 46
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا (الأحزاب:23)
b. Kata rajul dalam arti Nabi atau Rasul, seperti:
Qs al-Anbiya’: 7
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (الأنبياء:7)
Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui
Saba: 7
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ نَدُلُّكُمْ عَلَى رَجُلٍ يُنَبِّئُكُمْ إِذَا مُزِّقْتُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ إِنَّكُمْ لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ (سبأ:7)
Dan orang-orang kafir berkata (kepada teman-temannya). "Maukah kamu kami tunjukkan kepadamu seorang laki-laki yang memberitakan kepadamu bahwa apabila badanmu telah hancur sehancur-hancurnya, sesungguhnya kamu benar-benar (akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan yang baru?

Kata رجل mempunyai arti seorang utusan yaitu Muhammad Saw.
Banyak beberapa ayat yang mempunyai arti rasul yaitu sebagai berikut: Al-a’raf: 63 dan 69, Yunus:2, al-Mukminun: 25 dan 38, Saba: 43, al-Zukhruf: 31, al-An’am: 9, al-Isra’:47, al-Furqan: 8, Yusuf: 109, an-Nahl: 43.
c. Rajul dalam arti tokoh masyarakat
Yasin: 20,
وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ (يس:20)
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu".
Qs al-a’araf: 48
وَنَادَى أَصْحَابُ الْأَعْرَافِ رِجَالًا يَعْرِفُونَهُمْ بِسِيمَاهُمْ قَالُوا مَا أَغْنَى عَنْكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ (الأعراف:48)
Dan orang-orang yang di atas A'raaf memanggil beberapa orang (pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan tanda-tandanya dengan mengatakan: "Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu."

Kata rajul dalam arti tokoh masyarakat dapat juga ditemukan dalam beberapa ayat diantaranya Qs al-Qashahs:20, al-Mu’min: 28, al-A’raf: 48 dan 155, al-Kahfi: 32 dan 37, al-Jinn: 6, an-Nahl: 76.
d. Rajul dalam arti budak yaitu dalam qs Zumar: 29
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلًا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلًا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلًا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (الزمر:29)
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Apa yang dimaksud kata رجلا dalam ayat ini menurut al-Maraghi ialah hamba yang dimiliki, senada dengan hal tersebut adalah pendapat Ibn Katsir dan al-Qasimi. Dengan demikian kata رجل dalam alquran tidak semata-mata berarti laki-laki dalam arti jenis kelamin tetapi seseorang yang dihubungkan dengan atribut sosial budaya tertentu
Dalam kamus Lisanul Arab kata ذكر secara bahasa berarti mengisi, menuangkan seperti kata ذكر الإناء (mengisi bejana), dalam kamus munjid berarti menyebutkan, mengingat. Dari akar kata ini terbentuk beberapa kata ذاكرة (mempelajari) dan الذكر jamaknya الذكور artinya laki-laki atau jantan.
Kata الذكر lebih berkonontasi kepada persoalan biologis oleh karena itu الذكر sebagai lawan kata dari الأنثى jga digunakan untuk species jenis selain manusia. Padanannya dalam bahasa Inggris dalam male sebagai lawan kata dari female. Kedua kata ini dapat digunakan untuk species manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, contohnya Qs al-An’am: 143
ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ مِنَ الضَّأْنِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْمَعْزِ اثْنَيْنِ قُلْ آَلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الْأُنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الْأُنْثَيَيْنِ نَبِّئُونِي بِعِلْمٍ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (الأنعام:143)
(yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?" Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar
Kata آَلذَّكَرَيْنِ dan الْأُنْثَيَيْنِ menunjuk kepda jenis jantan dan betina pada bangsa binatang. Jadi kata الذكر dan الأنثى lebih bersifat biologis. Berbeda halnya dengan الرجال dan النساء yang umumnya digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender.
Adapun kata الأنثى berasal dari kata أنث beraarti lemas, lembek, halus. Konsisten dengan dengan makna jenis kelamin perempuan disebutkan sebanyak 30 kali dalam Al-Qur’an.
Kata المرء berasal dari akar kata مرأ berarti baik, bermanfaat. Dari kata inilah lahir makna laki-laki dan المرأة berarti perempuan. Kata المرء terulang sebanyak 11 kali dalam alquran dan penggunaannya diartikn dengan manusia termasuk laki-laki dan perenpuan.
Kata المرء digunakan untuk orang atau manusia yang sudah dewasa yang sudah mempunyai kecakapan bertindak atau yang sudah berumah tangga. Seperti halnya dalam Qs Thur: 21
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ (الطور:21)
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.

Kata زوج (Zauj) berasal dari kata زاج يزوج زوجا secara bahasa berarti menaburkan, menghasut. Dalam pemakainnya, kata زوج bisa diartikan dengan setiap pasangan dari laki-laki dan perempuan jantan dan betina bagi hewan. Kata zauj bisa bermakna istri atau suami seperti halnya dalam surat al-a’raf: 19
وَيَا آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (الأعراف:19)
Dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim."

Kata زوج terulang sebanyak 81 kali di Alquran dalam berbagai macam bentuknya.
a. Mempunyi arti pasangan genetik jenis manusia, an-Nisa’: 1
يا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)
Hai Sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
b. Pasangan genetik dalam dunia bintang Qs Syura:11
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (الشورى:11)
Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.

c. Pasangan genetis dalam dunia tumbuh-tumbuhan. Qs al-Qaf: 7
وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (ق: 7)
Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata,

d. Pasangan dari sesuatu yang berpasangan adzariyat: 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (الذريات:49)
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
Kata الأب berasal dari kata أبا atau ابو jamaknya أباء atau أبوة berarti ayah, bapak. الأب berbeda dengan الوالد berasal dari kata ولد berarti melahirkan. الأب pengertiannya lebih luas dari الوالد.
Kata الأب terulang sebanyak 87 kali dalam berbagai macam bentuknya di Alquran mencakup beberapa makna diantaranya sebagai berikut:
a. الأب yang berarti “ayah” seperti dalam Qs Yusuf: 63
فَلَمَّا رَجَعُوا إِلَى أَبِيهِمْ قَالُوا يَا أَبَانَا مُنِعَ مِنَّا الْكَيْلُ فَأَرْسِلْ مَعَنَا أَخَانَا نَكْتَلْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (يوسف: 63)
Maka tatkala mereka telah kembali kepada ayah mereka (Ya'qub) mereka berkata: "Wahai ayah kami, kami tidak akan mendapat sukatan (gandum) lagi, (jika tidak membawa saudara kami), sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama-sama kami supaya kami mendapat sukatan, dan sesungguhnya kami benar benar akan menjaganya".
b. الأب dalam arti “orang tua” atau senior seperti dalam Qs Taubah: 23
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (التوبة:23)
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Kata الأب dalam yat ini bisa diartikan para senior atau orang-orang yang dipertuakan.
c. الأب dalam arti “nenek moyang” atau “leluhur”, seperti Qs Albaqarah: 170
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ (البقرة:170)
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".

Kata أمّ berasal dari kata أم يؤم أما berarti “bermaksud, menuju, bergerak”. Bentuk jamaknya ada الأمهات/الأمات. Kata الأم menurut bahasa berarti “segala sesuatu yang menjadi sumber terwujudnya sesuatu, membina, memperbaiki, dan memulainya disebut ibu”.
Pendapat lain menyebutkan bahwa الأم berasal dari bahasa Ibrani dari kata em berarti “ibu, suku, masyarakat”. Pendapat lain lagi menyebutkan kata tersebut berasal dari bahasa Aramia yaitu umm’tha atau dari bahasa Akkad yaitu ummatu yang pengertiannya hampir sama yaitu “ibu”.
Kata الأم terulang sebanyak 35 kali dalam berbagai bentuknya pada 20 surat dalam 31 ayat. Mempunyai beberapa makna, diantaranya:
a. Ibu kandung, seperti Qs al-Qashash: 7
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ (القصص: 7)
Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul.
b. Dipakai untuk menekankan sesuatu yan dianggap inti dan utama, seperti kata ummul kitab dalam Qs Ali Imran: 7
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ (آل عمران: 7)
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Kata Ummul Qura juga menunjukan art penduduk, komunias suatu daerah, yang dalam ayat ini diartikan sebagai penduduk kota Mekkah dan umat manusia pada umumnya, seperti halnya dalam Qs al-Syura: 7
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا وَتُنْذِرَ يَوْمَ الْجَمْعِ لَا رَيْبَ فِيهِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ (7)
امّ bisa juga berarti ibukota seperti dalam Qs Al-Qashash: 59
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ (القصص:59)
Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.
c. Tempat tinggal atau tempat kembali, seperti Qs Al-Qariah: 9
فأمّه هاوية
Kata الإبن berasal dari bahasa Arab dari akar kata بنى يبنى بناء berarti “membangun, membina, menyusun, membuat fondasi”. Dari kata tersebut lahir kata ابن berarti anak yang aslinya menurut al-Zajaj berasal dari بنو alifnya adalah alif washal jamaknya ابناء atau بنين/بنون.
Kata ابن tidak selamanya berarti anak kandung tetapi lazim juga disandarkan kepada sesuatu sehingga membentuk pengertian lain, seperti malam (الليل) biasa disebut dengan ابن الكروان, siang (النهار) biasa disebut dengan ابن الحبارى, Adam biasa disebut dengan ابن الطين, demikian juga digunakan untuk menamai orang yang melakukan perjalanan di jalan yang benar seperti dalam Qs an-Nisa: 36
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (النساء:36)
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
Bentuk jamak dari kata ابن adalah ابناء/بنين/بنون menunjuk kepada makna anak-anak atau anak cucu tanpa dibedakan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, seperti dalam Qs Ali Imran: 14
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِين (آل عمران: 14)
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak
Sedangkan kata بنت jamaknya adalah بنات yang secara khusus menunjuk kepada anak-anak perempuan, seperti dalam Qs al-Ahzaab: 59
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (الأحزاب:59)
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kata Jihad juga dianggap mengalami perluasan makna karena menurut bahasa, Jihad adalah ‘berusaha semaksimal mungkin dan mencurahkan segala upaya sekuat tenaga. Jihad dalam padanan bahasa Perancis “la guerre sainte” yang mempunyai arti negatif yaitu melakukan anarkisme, perselisihan dan perang.
Nomina (kata benda) bahasa Arab, misalnya kata jihad. Di dalam Alquran terdapat 41 kata "jihad" yang berasal dari kata dasar "jahada". Kata ini terdiri atas 4 kata "jihad" (berjuang), 15 kata perintah "jāhadū" (berjuanglah kamu sekalian), 6 kata "juhda" (bersungguh-sungguh), 4 kata "tujāhidu atau yujāhidu" (berjuang), dan sebagian lainnya digunakan dalam makna kata yang tidak bersentuhan dengan kata "jihad".
Pemaknaan kata "jihad" ini semakin berkembang pada beberapa kata yang menyertai dan bersambung dalam suatu rangkaian makna. Dan kesan yang terjadi dalam semantik adalah kata-kata yang mempunyai kecenderungan makna idlāfi (relational meaning). Dalam Alquran, kata "jihad" mempunyai variasi makna yang tergantung terhadap kata apa yang akan mendampingi. Dari 41 kata "jihād" yang ada dalam Aquran, sebagian besar memberikan makna "berjuang", makna 'berjuang' ini akan selalu bersama dengan "fī sabīlillah" (di jalan Allah). Sambungan kata ini di dalam Alquran terdiri atas 15 kata " fī sabīlillah" yang terletak sebelum maupun sesudahnya, dan selanjutnya akan diteruskan dengan kata "bi amwāli" (dengan harta) dan "anfus" (raga) yang terdiri atas 10 kata sambungan dengan jihad". Sebagaian besar kata "jihad" yang lain -diambil dari kata dasar "jahada"- tidak berarti "berjuang" jika tidak didampingi dengan "fī sabīlillah". Sebagaimana kata "jahda" (bersungguh-sungguh) yang selalu bersambung sebelum dan sesudahnya dengan kata "aqsam" dan "aimān" (sumpah).
Kata "jihad" pada kalimat perintah lebih banyak menggunakan kata "Jāhadū" (berjuanglah kalian semua) yang sebagian besar bersambung dengan " fī sabīlillah" (di jalan Allah) dan "bi amwalikum wa anfusikum" (dengan harta benda dan raga kamu). Sementara kata asli "jihad" yang diambil dari kata dasar "jāhada" yang bermakna "li al-musyārakah" (saling melakukan suatu pekerjaan) hanya ada 4 kata dalam Alquran dan ada satu kata yang tidak bersambung dengan " fī sabīlillah", tetapi kesemuanya -kata asli "jihad"- tidak langsung bersambung dengan "amwāl" atau "anfus".
Dan ini menunjukkan adanya keterkaitan makna yang sangat general untuk dapat memberikan pemahaman dari sekian relasi makna nilai-nilai Islam. Karena dalam kemungkinan tertentu "sabilillah" dalam relasi maknanya dapat diartikan dengan "al-'adālah (keadilan), al-musāwah (kesetaraan), at-tahrīriyyah (pembebasan), al-muhāsabah (koreksi), al-muhāsanah (berbuat baik), al-murāhamah (kasih sayang) bahkan ad-demoqrathiyyah (demokrasi)". Sehingga kemungkinan yang sangat ideal dalam memahami "sabilillah" adalah memahami interpretasi lain yang tidak jauh dari teks al-Qur'an itu sendiri. Sebenarnya, reaksi yang sering menjadi kontroversi dari sekian ragam permahaman "jihad", adalah berangkat dari realitas yang dipaksakan dengan teks yaitu memahami jihad sebagai bentuk konfrontasi dengan pihak yang dianggap musuh padahal makna sebenarnya jihad adalah merealisasikan perdamaian, keselamatan semua manusia menuju rahmatan lil alamin.
Jihad pemahamannya sangat luas bisa dalam bentuk jihad ucapan, perbuatan, seperti jihad melawan hawa nafsu, melawan kejahatan, kerusakan, memberikan harta benda untuk jalan allah, mencurahkan segala usaha dengan sungguh-sungguh untuk meraih kemenangan, seperti jihad melawan musuh dan memerangi orang kafir, seperti halnya terdapat dalam QS Alfurqan: 52, Annisa: 95 .
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا (الفرقان:52)
Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.
Ayat ini menurut Ibnu qayyim bukan pengertian jihad bermakna perang tetapi jihad menghadapi orang-orang kafir dengan Hujjah, penjelasan dan menyampaikan Al qur`an, karena dalam periode Mekkah Jihad dalam arti berperang hukumnya haram.
Jihad bertujuan untuk merealisasikan perdamaian, keamanan bagi setiap manusia memerangi segala macam bentuk kebodohan kemiskinan dan keserakahan hawa nafsu, oleh karenanya jihad dalam ungkapan Alqur’an sebenarnya mengajak kaum muslim untuk menyebarkan dakwah dan menjauhkan segala macam bentuk peperangan yang banyak terjadi di kalangan masyarakat jahiliyah. Kata harb merupakan padanan dari kata qital yang sering terjadi diantara kelompok, suku, bangsa dan negara untuk kepentingan pribadi bukan untuk menyebarluaskan pesan-pesan ketuhanan dan humannisme universal.
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (المائدة:33)
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Kata jihad dan qital yang tedapat dalam Alquran dimaksudkan adalah untuk tujuan mempertahankan diri dari serangan musuh itupun jika musuh terlebih dahulu menyerang bukan bertujuan untuk memusuhi yang lain
أذن للذين يقاتلون بأنهم ظلموا وإن الله على نصرهم لقدير. الذين أخرجوا من ديارهم بغيرحق إلا أن يقولوا ربنا الله… (الحج، 39-40)
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar
Ajakan jihad fi sabilillah adalah untuk merealisasikan keadilan, keamanan bagi semua manusia di muka bumi dan menjunjung kalimat Allah swt, bersih dari kepentingan pribadi dan kepentingan dunia. Karena Islam merupakan agama damai, keamanan dan membawa kedamaian kepada orang lain
فليقاتل في سبيل الله الذين يشترون الحياة الدنيا بالآخرة ومن يقاتل في سبيل الله فيقتل أويغلب فسوف نؤتيه أجرا عظيما (النساء، 74).
Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.
فإن اعتزلوكم فلم يقاتلوكم وألقوا إليكم السلم فما جعل الله لكم عليهم سبيلا (النساء، 90)،
Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
وقوله كذلك: وإن جنحوا للسلم فاجنح لها (الأنفال، 61)
Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Kata `abd, yang dalam berbagai buku terjemahan al-Qur`an diartikan sebagai hamba, ternyata mengalami perluasan makna. Hanya saja makna hamba tersebut tidak bisa diartikan sebagai terkekangnya manusia di hadapan Allah. Misalnya, pada QS al-`Alaq/96: 6-10, kata “hamba” ditujukan kepada Rasulullah yang mempunyai derajat tinggi di mata Allah maupun manusia, bukan sebagai “jajahan” Allah, ini juga terdapat pada QS. Al-Fajr/89:29, QS. Qaf/50:8, al-Fathir/35:28. Al-Qamar/54:9, dan Shad/38:17. Hampir kesemuanya dikenakan pada manusia yang sangat dihargai oleh Allah melalui perjalanan isyra, atau diangkatnya Dawud, manusia-hamba, sebagai khalifah, dan sejenisnya.
Tapi ‘abd itu, dalam beberapa ayat memang benar-benar budak, misalnya dalam al-Qur`an surat al-Baqarah/2:178 dan 221. Allah juga tidak menganiaya kepada hamba-hamba-Nya (QS. Al-Hajj/22:10). Bahkan Allah itu bersikap lemah lembut kepada hamba-hambanya dan memberikan rezekinya (QS. Al-Syura/42:19). Uraian tersebut mengemukakan “harga” manusia sebagai `abd dalam relasinya dengan Allah yang masih tetap bebas dan tidak dikekang dalam segala hal oleh kehendak Allah. Kondisi inilah yang memungkinkan manusia sebagai `abd bisa menjalankan tugas lainnya, sebagai khalifah.
Perubahan makna tersebut sebagaimana dikatakan Allan (1986) merupakan fenomena linguistik yang benar-benar tidak teratur dan tidak sistematis. Perubahan makna tidak terjadi pada semua kosakata, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja.
4.2.2 Penyempitan Makna
Menurut Abdul Chaer yang dimaksud dengan makna mengurang/menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya memiliki makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas. Seperti kata pendeta, ulama yang aslinya bermakna ‘orang yang berilmu’ tetapi dalam bahasa Indonesia mengalami penyempitan makna menjadi ‘guru agama Kristen’, seperti dalam kalimat: Pendeta Peter sedang memimpin misa di Gereja Santo Paulus Pekalongan’.
Misal kata yang mengalami penyempitan makna adalah kata عالم berarti cendekiawan, tenaga ahli, pakar, atau sarjana’. Namun kata ini mengandung beberapa arti, yaitu (1) Berilmu dalam ajaran agama Islam, misalnya ia seorang alim yang disegani di komplek perumahan itu. (2) Saleh. Seperti dalam kalimat: “kelihatannya ia sangat alim dan tidak pernah meninggalkan shalat. Penyempitan terjadi karena kata ‘alim’ hanya ditujukan kepada orang yang ahli ibadah dan berilmu saja, seperti halnya kata ulama dalam Qs: Fathir: 28
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء( فاطر:28)
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama

Kata ulama telah mengalami perubahan dari makna dasarnya. Kata ulama yang diserap dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata ‘alim pada mulanya mengacu pada para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga para pakar ilmu bahasa (linguis), para pakar pertanian, para pakar ekonomi, para pakar informasi, para pakar ilmu agama, dan lainnya juga disebut dengan ulama. Akan tetapi, ketika kata ulama ini diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai variabel kultural yang mempengaruhi, maka kata ini sudah dibatasi pada para pakar di bidang ilmu agama Islam atau kaum agamawan (muslim). Perubahan inilah yang disebut dengan penyempitan arti. Senada dengan ulama adalah نبي dan رسول yang awalnya mempunyai makna dasar sebagai orang yang membawa berita dan seorang utusan siapapun orangnya sekarang telah mengalami penyempitan makna hanya seseorang yang diberi wahyu oleh Allah Swt dari Nabi Adam as – Muhammad Saw.
4.2.3 Perubahan Makna Total
Perubahan makna secara total adalah perubahan sebuah makna dari makna asalnya ke makna baru, walaupun kemungkinan ditemukan unsur keterkaitan antara makna asal dengan makna yang baru.
Munsyi mencontohkan, bahwa dalam bahasa Indonesia sekarang kata ’gapura’ telah berubah artinya menjadi ’pintu gerbang’. Kata ini berasal dari bentuk adjektiva nama Allah غفور artinya “Maha Pengampun”. Asal-usulnya tentunya di zaman Walisongo ketika Sunan Kalijaga menginginkan adanya islamisasi budaya melalui simbol-simbol keislaman seperti pintu gerbang dinamakan dengan ‘gapura’. Termasuk tokoh-tokoh dalam wayang hampir semuanya diambil dari Alquran, misalnya nama tokoh wayang yang bernama Togog sebagai tokoh yang licik diambil nama tersebut dari Alquran dari kata طغى yang terdapat dalam Qs Thaha: 24 yang berbunyi
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (طه:24)
Pergilah ke Fir’aun sesungguhnya ia telah melampaui batas
Tokoh yang lain adalah Bagong punakawan yang berasal dari bahasa Arab بغى yang artinya seorang tokoh yang mampu mempertimbangkan makna dan rasa, antara yang baik dan yang buruk sebagaimana yang terdapat dalam Qs Shad: 22
إِذْ دَخَلُوا عَلَى دَاوُودَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ (ص: 22)
Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.

Perubahan makna total terdapat dalam tokoh punakawan lainnya yang bernama Gareng yang berasal dari bahasa Arab Alquran yaitu قرين terdapat dalam Qs As-Shafat: 51
قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ إِنِّي كَانَ لِي قَرِينٌ (الصافات:51)
Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman,
4.2.4 Ameliorasi
Ameliorasi yaitu proses perubahan makna di mana arti yang baru dirasakan lebih tinggi atau lebih baik nilainya dari arti yang lama. Misalnya, asal kata penggunaan kata زوجة istri lebih rendah daripada kata امرأة (perempuan). Kini, kata زوجة nilai rasanya lebih tinggi daripada kata امرأة yang secara etimologi bermakna ‘perempuan’.
Secara leksikal زوج (zauj) bisa berarti ‘istri atau suami’ dan امرأة berarti ‘perempuan’ atau ‘istri’. Kedua kata tersebut berbeda makna dalam penggunaannya di dalam Alquran, karena kata زوج (zauj) lebih berkonotasi positif kepada perempuan yang taat dapat memberikan ketentraman dan kasih sayang QS ar-Rum: 21
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الروم: 21)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Berbeda halnya dengan kata امرأة imroatun selalu dikonotasikan negatif sebagai istri tapi durhaka, seperti dalam Qs Yusuf: 30
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَةُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (يوسف: 30)
Dan wanita-wanita di kota berkata: "Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata."
Kata امرأة pada ayat tersebut ditujukan kepada istri pembesar Mesir yang bernama Zulaikha dan sosok perempuan tersebut adalah sosok penggoda dan perayu nabi Yusuf as, menjadi tokoh antagonis yang berkonotasi negatif.
Kata امرأة berikut juga menunjukan istri durhaka kepada Allah dan suaminya, padahala suaminya adalah nabi dan Rasul, yaitu istri nabi Nuh dan Luth as.
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ (التحريم: 10)
Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)".


4.3 Implikasi Perubahan Makna Nomina Alquran pada ranah Sosial Keagamaan
Pergeseran dan perubahan makna menjadi dan merupakan kehidupan sebuah bahasa. Dinamika sebuah bahasa tergantung kehidupan masyarakat pemakai bahasa tersebut. Ini berarti sejalan dengan dinamika pemakai bahasa terjadi juga dinamika bahasa. Pemakai bahasa atau masyarakat yang dinamis akan mendinamiskan bahasa. Di sanalah terjadi pergeseran dan perubahan bahasa.
Tidak ada satu kepastian ke arah mana terjadi perubahan bahasa apakah masuk dalam satu kategori atau masuk dalam beberapa kategori. Masyarakat sebagai pelaku bahasa akan selalu mengamati akan perubahan bahasa yang terjadi, jika bahasa yang ada dalam lingkupannya adalah bahasa kitab suci atau Alquran maka pembacaan terhadap kitab suci berdasarkan makna yang ada di dalamnya merupakan bentuk kewajiban kalau boleh dikatakan sebagai fardhu ’ain.
Masyarakat yang pluralistik ditandai oleh keberagamaan wawasan keagamaan mereka dalam kata dan tindakan, berpola pikir moderat, bertindak sopan dan hormat kepada keyakinan orang lain serta tidak menjadikan teks-teks suci sebagai kebenaran monolistik yang dipaksakan untuk diikuti orang lain yang tidak sejalan dengan keyakinannya, karena pada dasarnya semua aturan hukum yang ada dalam kitab suci, yang ada dalam Undang-undang konvensional adalah merupakan syariat juga. Syariat kitab suci beserta semua produk hukumnya adalah hukum Tuhan yang dibuat Tuhan buat manusia dan semua makhluk, tentunya karena sebuah produk hukum maka mengandung aspek kemaslahatan bukan kemadharatan, baik kepada pelanggar hukum ataupun kepada yang taat hukum.
Maka ketika memahami teks suci Alquran berdasarkan kajian semantik akan banyak ditemukan satu kata yang mempunyai makna beragam, bisa juga banyak kata tetapi mempunyai hanya satu makna, dan perlu diingat bahwa Alquran adalah kitab suci yang penuh dengan bahasa majaz atau kiasan bukan bahasa dalam makna yang sebenarnya, misalnya kata الظلام yang punya arti kegelapan. Kegelapan ini bisa dimaknai gelap dalam arti sebenarnya bisa juga gelap dalam arti belum mendapatkan petunjuk. Di sini dapat dicontohkan firman Allah dalam surat al-fath: 10 yang berbunyi يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ. Kata "yadun" secara etimologi adalah tangan tetapi itu makna kiasan sehingga ditafsirkan dengan "kekuasaan", karena tangan identik dengan kekuasaan. Maka arti dari ayat tersebut adalah "kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka". Demikian juga arti ayat dalam surat al-Maidah: 38 وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا yang dipotong adalah "kekuasaannya" bukan tangan dalam arti dhahirnya, senada dengan ayat tersebut adalah firman Allah surat ar-Rum:41 ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ adanya kerusakan di darat dan di laut akibat dari kekuasaan/perbuatan manusia.
Dengan pemahaman seperti ini akan berimplikasi sosial yang mengarah kepada pembuatan produk hukum yang humanisme universal sesuai dengan nilai-nilai Alquran, sehingga negara dituntut untuk melakukan perbaikan sosial ekonomi agar bisa meminimalisir segala bentuk kriminalitas yang mengarah kepada pencurian, perampokan dan segala bentuk perbuatan kriminal yang menodai hak-hak kemanusiaan dengan cara memperbanyak kesempatan mendapatkan pekerjaan misalnya.
Pemahaman secara kafah terhadap ajaran Islam akan mengarah kepada pola pikir moderat sebagaimana perintah Allah Swt dalam Qs Albaqarah: 143 yang berbunyi وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا yang artinya “Dan demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat yang moderat agar kalian bisa menjadi saksi bagi semua orang dan Rasul menjadi saksi buat kalian”. Perlu diketahui bahwa Surat Al-Baqarah ada 286 ayat dan separoh dari 286:2= 143. Ini menunjukkan bahwa moderat merupakan konsep yang dibenarkan menurut Islam dan konsep radikal (ghuluw/tathorruf) yang harus dijauhi oleh umat Islam, termasuk dalam memahami ayat-ayat Qur’an. Maka cara agar bisa memahami ayat Alquran dengan moderat adalah salah satunya dengan ilmu semantik karena ilmu semantik mampu menyelidiki suatu kata sampai seakar-akarnya.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan dari penelitian ini:
1. Beberapa nomina bahasa Arab dalam Alquran yang mengalami perubahan makna adalah semua kata benda dalam bahasa Arab seperti isim makrifah, nakirah, isim mudzakar, muanats, isim masdar, isim mufrad, mutsanna, jamak dan lain sebagainya yang mengalami perubahan makna akibat faktor linguis yang melingkupinya, diantaranya adalah fonetis, sintaksi dan morfologi atau faktor non linguis yang ada di sekitarnya, diantaranya adalah sejarah bahasa, aspek sosial budaya, aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, aspek bahasa asing, aspek perbedaan pemakaian, aspek psikologis.
2. Proses terjadinya perubahan makna disebabkan karena beberapa faktor seperti faktor bahasa yang mencakup aspek fonetik, misalnya صوم (puasa) dibaca ثوم (bawang putih) aspek morfologis, misalnya يذكرون (mereka menyebut) dibaca يذاكرون (mereka saling mengingat) dan sintaksis, misalnya قِبْلَةٌ (kiblat) dibaca قُبْلَةٌ (ciuman), faktor kesejarahan yang menganalisa bahasa berdasarkan sejarah atau asal usul bahasa, misalnya kata خاتم berasal dari kata ختم yang berarti mencetak. Dari akar itu, juga muncul kata ختام yang dahulu bermakna “tanah liat yang dibuat untuk memahat tulisan”. Istilah sekarang kata خَتْمٌ juga menunjukan pada arti stempel, faktor sosial budaya yang menganalisis budaya berdasarkan pandangan dunia dalam konteks sosial budaya masyarakat pelaku bahasa, seperti kata “Kafir” asal katanya mempunyai makna dalam ranah pertanian الفلاح الذى يستر البذور ويغطيها yaitu petani yang menutupi biji-bijian dan menimbunnya dengan tanah, tetapi karena perkembangan sosial budaya maka diistilah sebagai orang yang tertutup dari jalan kebenaran, faktor psikologi yaitu berdasarkan kondisi psikologis dari penutur kepada lawan bicara berdasarkan muatan emosional yang terjadi ketika ada pembicaraan, seperti perbedaan kata غضب dan غيظ sama-sama berarti marah tetapi masing-masing mempunyai rasa bahasa berbeda berdasarkan muatan psikologis orang yang saling berbicara, faktor ilmu dan teknologi yaitu berdasarkan kebutuhan ilmu dan teknologi atau perkembangan Iptek yang semakin maju sehingga pemaknaan Alquran berdasarkan penafsiran klasik perlu dibenahi lagi agar sesuai dengan perkembangan Iptek, contohnya kata ذرة yang berarti ‘atom’ sebagai unsur partikel paling kecil tetapi dipahami lain bukan sebagai unsur terkecil karena ada yang lebih kecil dari atom yaitu proton perubahan ini terjadi karena penemuan ilmu pengetahuan, faktor perbedaan pemakaian bahasa yaitu kata yang sama tetapi dipakai dalam arti yang berbeda-beda, misalnya kata التحرير yang bisa bermakna pembebasan dan juga bermakna redaksi dan terakhir adalah faktor bahasa asing yaitu adanya serapan bahasa asing non Arab dalam Alquran sehingga bahasa tersebut mengalami perubahan makna, seperti kata قرطاس dalam Alquran yang ternyata berasal dari bahasa Aramiyah.
Sedangkan proses perubahan makna terjadi karena perluasan/generalisasi makna, seperti صلاة yang tadinya bermakna berdoa sekarang meluas maknanya sebagai aktifitas gerakan beribadah dari mulai takbiratul ihram-salam, penyempitan makna, misalnya kata ‘ulama’ yang tadinya orang yang ahli dalam semua bidang ilmu, sekarang ini hanya orang yang ahli dalam ilmu agama dan karena perubahan makna secara total, seperti gapura yang berasal dari kata غفورا.
3. Perubahan makna dalam nomina bahasa Arab Alquran berdampak positif terhadap pola pikir dan pemahaman masyarakat akan kajian Alquran secara komprehensif dan integralistik sehingga satu kata tidak hanya dipahami dengan monomakna tetapi multimakna. Pemahaman akan semantik Alquran akan menelusuri sampai seakar-akarnya sejarah sebuah kata sehingga sebuah kata dalam Alquran bukan makna yang ambigu tetapi makna yang mampu mencerahkan. Sehingga akan membentuk pola pikir dan tindakan yang mengarah kepada nuansa akademis yang tidak doktriner, merasa paling benar dan menyalahkan yang lain tetapi dewasa dalam memahami alur perbedaan. Dari sinilah akan terbentuk mainstream moderat dalam memahami ajaran agama yang rahmatan lil alamin.

5.2 Saran
Perlu penelitian lebih lanjut terkait kajian semantik dengan penelitian pada verba bahasa Arab Alquran yang mengalami perubahan makna dan implikasinya terdapat sosial kemasyarakatan.
Penelitian ini juga bisa ditindaklanjuti dengan membuat kamus tematik berdasarkan analisis semantik yang bahasa Arabnya diambil dari bahasa Arab Alquran dengan melihat aspek sejarah bahasa terkait, tinjauan fonemnya, sintaksisnya dan morfologinya (unsure linguis) dan unsure nonlinguis yang melingkupinya.
Daftar Pustaka
Ahmad, Abu Hatim bin Hamdan al-Razi, al-Zanad fi al-Mustalahat al-Islamiyya al-Arabiyya, , vol. 1, (Cairo: Darussalam, 1956-1958)

Al-Askari, Abu Hilal. Al-Furuq fi al-Lughah, (Kairo: Dar ad-da’wah, 1993

Al-Khuli, Amin. “Manhaj Tajdîd fi al-Nahw wa al-Balâghah wa Tafsîr wa al-Adab”. (Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1961)

---------------------. Manahij Tajdid, (Mesir: al-Nahdlah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 1995)

Arifuddin, Nur. Faktor Penyebab Perubahan makna, dalam http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/03/faktor-penyebab-perubahan-makna.html, diakses pada tanggal 20 Oktober 2011.

Arrazi, Abu Bakar. Mukhtar As-shahah, bab kafir, hlm. 221.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Tafsir Ayat Ahkam, (Beirut: Darul Ma’arif, 1976)

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an, (Kairo: Darul Hadits, 1994)

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Perkenalan Awal, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995)

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

-------------------. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Dictionnaire des symboles musulmans، 1996 ، Dictionnaire historique de l’islam, 1955.

Djajasudarma, Fatimah. Semantik 2 (Pemahaman Ilmu Makna), (Bandung: Refika Aditama, 1999)

Ghufron, Aunur Rofiq dan Abdurrahim. Ringkasan Singkat Kaidah-Kaidah Bahasa Arab, (Ma’had Furqon Islami, 2000).

Haq, Thoriqul. “Memahami Kata Jihad; Analisis Sosiosemantik Alquran”. Artikel dalam http:// mail-archive.com, diakses pada tanggal 10 April 2011.

Haryono, M Yudhie R. Bahasa Politik Alquran. (Bekasi: Gugus Press, 2002).

Ibn Mandzhur, Lisanul Arab, Jilid XI

Ibnu Katshir, Tafsir Qur’an Karim, Editor Sami bin Muhammad Salamah, cet. 2, (Mekkah: Dar Tayyibah wa an-Nasyr, 1999)

Izutsu, Toshihiko. Allah wa al-Insan fi al-Qur’an: Ilmu Dilalah al-Rukyah al-Qur’aniyyah li al-Alam (Beirut: al-Munadzamah al-‘Arabiyyah li al-Tarjamah, 2007)

-----------------------. Ethico Religius Concept in the Qur’an (Montreal: Mc Gill University Press, 1966).

Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Khulusi, Safa. “Sastra Arab” dalam Syyed Hossein Nasr (ed.), Spiritualitas Islam: Manifestasi (Bandung, Penerbit Mizan, 2003), cet. I

Lane, Edward William. Arabic English Lexion, (Beirut: Libraire Du Liban, 1968)

Lewis, Bernard. The Political Language of islam, Bahasa Politik Islam, diterj. Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994)

Lutfi, Muhammad. “Bahasa Arab dan Dinamika Kebudayaan Dunia” dalam Jurnal Kebudayaan Arab ARABIA Vol. 8 Nomor 16/ Oktober 2005-Maret 2006, (Depok: Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005-2006), hlm. 51.

M. Pickthall, The Meaning of the Glorious Quran (Karachi: Taj, 1973), hal. 3.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir, cet. 14, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997)

Nahdiyyin, Khairon. Metode Tafsir Susastra (Yogyakarta: Adab Press), 2004, h:vii.

Nurdin, Ali. Qur'anic Society: Menelusuri Konsep Manusia ideal dalam Al-Qur'an, (Jakarta: Erlangga, 2006)

Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. (Jakarta: Rineka Cipta, 2001).

Samsuri, Analisis Bahasa, (Jakarta: Erlangga, 1987)

Sarwat, Apakah Dalam Quran Ada Bahasa Serapan Asing ?, dalam http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1196834284, diakses pada tanggal 20 Oktober 2011.

Setapa, Djaka. Ummah: Komunitas Religius, Sosial dan Politik dalam Al-Qur’an, (Surakarta: Duta Wacana University Press, 1991)

Shah, Muhammad Aunul Abied. “Amin Al-Khuli dan Kodifikasi Metode Tafsir” dalam buku Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001)

Shihab, M. Quraish. Mukjjizat al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), cet. IV

Soekarba, Siti Rohmah. 2008. "Bahasa Arab menatap masa depan: Peluang dan Tantangan Era Globalisasi" dalam As-sijlul ilmi al-Mu'tamar ad-Duwali: al-Lughah al-Arabiyah wal Aulamah Wajhan li Wajhin. Malang: Universitas Negeri Malang.

Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik: Bagian Pertama Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa.Yogyakarta: Duta Wacana Press.
Sutiamarga, Males. "Perubahan Makna Kata dalam bahasa Arab" dalam Jurnal kebudayaan Arab Arabia Vol. III Nomor 6/Oktober 2000 – Maret 2001. Depok: Program Studi Arab Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2000-2001.

Taufiqurrochman. 2008. Leksikologi Bahasa Arab. Malang: UIN Malang.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Alquran, (Jakarta: Paramadina, 1999)

Zaenuddin, Mamat dan Yayan Nurbayan. 2007. Pengantar Ilmu Balaghah. Bandung: Refika Aditama.

Zaid, Nasr Hamid Abu. Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam diterjemahkan oleh Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, (Yogyakarta: Samha, 2003).